Lihat ke Halaman Asli

Pandangan Orientalis Terhadap Fikih Islam

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

BAB I

PENDAHULUAN

seringkali umat Islam tak menyadari bahwa usaha para orientalis mempelajari dan mengkaji Islam sudah berlangsung sangat jauh. Hasil kajian mereka pun sudah betebaran di negara-negara muslim. Padahal pemikiran mereka itu sebagian besar jelas-jelas merugikan Islam dan kaum muslimin. Sebagai contoh, orientalis Yahudi, Patrica Croen dan Michael Cook, dalam berbagai karyanya menyebut Islam sebagai agama Hagarism, yang berarti agama para budak. Nama Hagarism sendiri dikaitkan dengan Hajar, isteri Nabi Ibrahim. Kemudian ia juga menyebut Hukum Islam itu buatan para tabi’in. Dan tentunya masih banyak lagi konsep-konsep Islam yang maknanya mereka selewenangkan dengan seenaknya.

Pembahasan Fiqh dan Ushul Fiqh tidak terlepas dari Hukum Islam yang merupakan tujuan dibangunnya paradigma ushul dan fiqh tersebut. Maka makalah ini akan mengkaji bagaimana pandangan orientalis dalam mengkaji dasar dan hukum Islam ini.

BABA II

PEMBAHASAN

A. Peletak Dasar Kajian dalam Bidang Hukum Islam di Barat

Berkenaan hukum dan fiqh Islam, orientalis Perancis yang tercatat paling awal menulis adalah M. Perron. Diterjemahkannya Mukhtashar Khalil, sebuah kitab rujukan mazhab Maliki yang masyhur dipakai di wilayah Afrika Utara. Kegiatan mereka mencapai titik puncaknya dengan kemunculan Revue Algérienne, Tunisienne et Marocaine de Législation et Jurisprudence, majalah berkala yang khas menyoroti masalah hukum dan perundang-undangan di wilayah jajahan Perancis tersebut[1].

Menyusul invasi mereka ke Libya (yang dengan gigih ditentang oleh Sidi Umar Mukhtar), orang-orang Itali tak ketinggalan menyelidiki Islam dan seluk-beluknya. Orientalis mereka dalam hal ini, Ignazio Guidi dan David Santillana, menggarap terjemah Mukhtashar tersebut ke dalam bahasa Itali.

Sementara itu di Spanyol, studi mengenai hukum Islam dipelopori oleh Pascual de Gayangos yang juga mulai dengan penerbitan kitab Isa ibn Jabir dengan judul Tratados de Legislación Musulmana pada tahun 1853. Karya ini bertujuan memenuhi keperluan kaum minoritas Muslim di Spanyol. Namun tak dinafikan terselipnya kepentingan kolonial mereka di Maroko dan Filipina. Kemudian didirikan pula oleh Pemerintah Spanyol sebuah lembaga penelitian bernama Escuelas de Estudios Arabes pada tahun 1931 di Madrid dan Granada yang terkenal melalui jurnalnya:al-Andalus.

Orientalis Belanda memfokuskan kajian mereka pada fiqh mazhab Syafi’i yang dianut oleh mayoritas penduduk daerah jajahan mereka. Karya perdana muncul pada tahun 1874 dari Lodewijk W.C. Van den Berg yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis pada 1896. Namun tokoh terpenting orientalis Belanda tentu saja adalah Christian Snouck Hurgronje. Dikenal produktif menulis, Hurgronje terjun langsung ke dalam, menyamar sebagai mu’allaf, lantas bermukim di Mekkah untuk mempelajari tradisi dan mentalitas orang Islam. Dan secara sadar terlibat dalam politik kolonial Belanda. Tak kalah penting sumbangan Claudius dan Michael de Goeje serta Theodor W. Juynboll. Disamping mempelajari bahasa dan adat istiadat bangsa pribumi, orientalis Belanda juga mengumpulkan dan mengkaji karya tulis yang berpengaruh, semisal matan Ghayatu al-Ikhtishar wa at-Taqrib karya Abu Syuja’ al-Isfahani (w. 593 H/1197 M) yang masyhur di kalangan pondok pesantren di Asia Tenggara[2].

Hal yang sama berlaku di kalangan orientalis Jerman. Lantaran mereka menduduki sebagian besar wilayah Afrika Timur yang penduduknya kebanyakan bermazhab Syafi’i, maka studi orientalis Jerman pun diarahkan kesana. Sebagai contoh ditunjuknya karya-karya Eduard Sachau, seorang pakar yang cukup disegani, karyanya berisi seputar sejarah hukum Islam dan hukum waris yang diterbitkan Akademi Ilmu Pengetahuan Austria-Jerman antara tahun 1870 dan 1897, juga tulisan-tulisan Heinrich F. Wüstenfeld.

Tak jauh berbeda dengan tetangga mereka, orientalis Inggris , disamping mendalami bahasa, alam pikir dan adat-istiadat, mereka pun berusaha menyelami sistem perundang-undangan Islam yang diamalkan warga India, Pakistan, Bangladesh, dan Malaya. Tokoh pionir dalam bidang ini antara lain Charles Hamilton yang pada tahun 1791 merampungkan terjemah kitab al-Hidayah karya al-Marghinani (w. 593 H/1197 M) ke bahasa Inggris, dan Sir William Jones yang menerjemahkan matan al-Sirajiyyah. Usaha itu diteruskan oleh Neil Benjamin Baillie, William H. MacNaghten, dan Sir Roland K. Wilsonyang pada gilirannya mempelopori lahirnya ‘sistem perundanganbernama Anglo-Muhammadan Law[3].

B. Kelompok Pemikiran Utama dalam Kajian Hukum Islam

Pada dasarnya pendekatan sejarah dalam kajian hukum islam di barat berorientasi pada dua kelompok pemikiran utama yang oleh J. Koren dan Y.D. disebut sebagai kelompok tradisionalis dan revisionis[4].

1. Kelompok Tradisionalis

Kelompok tradisionalis secara umum, mereka mengkaji hukum islam melalui literature-literatur yang ditulis oleh orang arab atau orang islam. Menurut mereka literature tersebut dapat dijadikan sebagai bahan sumber kajian Islam, dan setiap fakta dan data yang ada dipandang benar selama tidak ada fakta lain yang membuktikan sebaliknya, salah satu pendukung kelompok tradisionalis adalah W. Montgomery Watt, ia merefleksikan dukungannya melalui karya-karyanya seperti; Muhammadrophet and statesmen. Adapun dalam bidang hukum, antara lain dapat disebutkan nama-nama seperti David S Power dan Wael B Hallaq.

2. Kelompok Revisionis

Sementara kelompok revisionis lebih ekstrem terhadap Islam, bahkan mereka menyatakan bahwa Islam itu sebenarnya tidak memounyai rumusan ajaran hukum, menurut mereka hampir seluruh formulasi hukum yang ada merupakan hasil jiplakan dari aturan agama sebelumnya, khususnya yahudi; dan terkait dengan literature Arab atau Islam yang ada, merupakan upaya menjustifikasi kebenaran dan kehebatan Islam, bukan sebagai data-data sejarah, Akibatnya dalam banyak hal ditemukan sejumlah pendapat yang tidak factual atau kontradiktif. Salah satu contoh adalah hadist Nabi yang menjelaskan tentang pernikahan Nabi pada saat melakukan haji, di satu pihak sumber yang ada menyebutkan Nabi melakukannya pada waktu haji dan sementara di pihak lain menyebutkan sesudahnya. Hal ini menyebabkan terjadinya silang pendapat di kalangan fuqaha’, apakah kawin pada saat haji itu boleh atau tidak.

Kedua kelompok ini saling bertentangan, bahkan diantra mereka saling mengkritisi karya yang satu dengan yang lain, seperti kasus Montgomery Watt ia menyatakan bahwa Mekkah merupakan pusat dan jalur lalu lintas perdagangan, sehingga posisi strategis ini menjadi arti penting dalam penyebaran isalm, pandangan ini ditolak oleh Patricia Crone dengan menyatakan bahwa kota segersang Mekkah tidak mungkin memproduksi bahan yang menarik perhatian luar, oleh karena itu menurutnya perlu fakta lain untuk mengungkapkan kenapa Islam menyebar dengan cepat kewilayah diluar Mekkah. Namun menurut Rodinson bahwa terdapat perbedaan bahkan kontradiksi antara data yang ditulis pengarang satu dengan yana lain, akan tetapi secara tegas Rodinson menyatakan hal itu bukanlah suatu alasan untuk menolak karya orang-orang Arab atau Islam, selain Rodinson, Serjeant juga mengecam hasil penelitian Crone dengan menuduhnya sarjana yang tidak mempunyai bekal bahasa Arab yang memadai dan Crone sendiri menanggapi bahwaq serjeant terkesan mengada-ada dan sikapnya itu disebabkan karena fanatisme seorang Arab.

Tujuan kaum revisionis ialah menghapus sejarah islam secara menyeluruh dan pemalsuan terhadap sejarah islam, dengan berbagai upaya pengaburan terhadap ajaran Islam, demi sebuah ideologi dan arena politik. Adapun yang menjadi tujuan utama mereka adalah memberikan proteksi yang kuat terhadap agama Kristen dalam menghadapi arus kemajuan agama Islam. Sekarang muncul metode baru dikalangan ilmuwan barat dalam menyerang tradisi buku-buku tafsir yang menuntut pembaharuan. Dengan alasan hak tersendiri dalam menafsirkan kitab suci. Basetti Sani dan Youakim Moubarak keduanya bersikeras bahwa tafsiran Al-Qur’an mesti dibuat sejalan dengan ukuran kebenaran agama Kristen, dan pernyataan mereka mendapat acungan jempol dari W.C. Smith dan Kenneth Cragg, sebagai seorang pemimpin gereja Anglican, Cragg menekankan agar umat islam menghapus semua ayat yg diturunkan di Madinah (dengan penekanan dibidang politik dan hukum) guna mem-pertahankan esensi ayat-ayat Makkiyah yang secara umum lebih menyentuh masalah KeEsaan Tuhan (Monotheism) dimana ayat Madaniyyah dianggap meremehkan nilai keTuhanan dari esensi pernyataan “Tiada Tuhan Selain Allah” Konsep pemikiran ini bermaksud untuk “menggoyang” orang-orang yg lemah iman dan was-was dengan menggunakan senjata “Sikap Sinis” kaum orientalis yg selalu menghujat Al-Qur’an agar semakin mudah menerima ideology Barat[5].

C. DASAR TEORI KAJIAN ORIENTALIS DALAM FIQH ISLAM

Setiap penelitian ilmiah pakai metode, dan setiap metode punya teori, dan setiap teori mengandung hipotesis atau presuposisi yakni pendapat-pendapat yang kebenarannya memang dianggap tak perlu dan tak boleh sengaja tidak dipertanyakan, sebab jika dipersoalkan niscaya penelitian tersebut mustahil terlaksana, sebab si peneliti harus membuktikan dulu kebenaran presuposisi tersebut sebelum ia dapat memulai risetnya.

Maka untuk menghindari sirkularitas alias ‘muter-muter’, dianggaplah dan diyakini sajalah presuposisi itu seolah-olah sudah atau bahkan pasti benar. Nah, di sinilah letak persoalannya. Berikut ini sejumlah teori dan presuposisi yang mendasari kajian orientalis mengenai Syari’ah dan fiqh Islam.

Pertama, teori evolusi. Adalah Ignaz Goldziher yang sering kali secara panjang lebar menulis bahwasanya hukum Islam itu mengalami perkembangan dan pemekaran. Dalam arti; tidak langsung matang, lengkap atau tertib dari permulaan, akan tetapi melalui proses panjang dari masa pembentukan, kelahiran, pertumbuhan, pematangan dan akhirnya kemerosotan. Semua itu konon terjadi akibat tuntutan zaman dan perubahan masyarakat dari masa ke masa[6]. Teori yang menyertai pendekatan historis ini menjadi ‘rukun iman’ orientalisme yang digigit kuat-kuat oleh para pengkaji sezaman maupun sesudahnya Alois Sprenger, David Samuel Margoliouth, Duncan B. Macdonald, dan E. Gräf. Padahal realitas saat ini yang dianggap kemerosotan itu adalah aplikasi umat yang kurang sesuai, bukan hukumnya yang tidak sesuai. Fiqh kontemporer yang saat ini digalakkan ulama-ulama merupakan salah satu bentuk usaha untuk menggali hukum untuk problematika baru, dengan tetap berpijak pada Hukum Ashl-nya. Para ulama kontemporer, dengan tetap berpegang pada fiqh yang ada, menggali hukum untuk problematika yang baru, bukan menggali hukum baru.

Kedua, teori pengaruh dan pinjaman yang juga merupakan asas dari metode penelitian sejarah. Teori ini mengandaikan bahwasanya agama seperti halnya pengetahuan, keterampilan dan seni adalah hasil budi daya dan reka cipta manusia. Ia muncul berasal dari pergaulan antar anggota masyarakat, bangsa tertentu dengan bangsa lainnya. Maka Islam pun beserta segala ajarannya disikapi sebagai bikinan manusia (bukan wahyu samawi). Bertolak dari andaian ini para orientalis mencari-cari apa yang mereka percaya sebagai asal-usul, sumber, atau unsur-unsur asing yang mempunyai kesan atau pengaruh terhadap ajaran-ajaran Islam. Para orientalis umumnya mendakwa sebagian besar ajaran Islam berkenaan aqidah dan ibadah diambil dari doktrin dan tradisi agama Yahudi ataupun Nasrani. Demikian menurut Rudolf Macuch, Carl H. Becker, A.J. Wensinck, I.K.A. Howard, Uri Rubin, Georges Vajda, C.S. Hurgronje, H. Lazarus-Yafeh, dan lain-lain.

Khusus mengenai fiqh dan ushul fiqh sebagai disiplin ilmu, metodologi, dan falsafah perundang-undangan, maka Alfred von Kremer, I. Goldziher, G. Bergsträsser, Joseph Schacht, G.-H. Bousquet, Judith R. Wegner, Patricia Crone, Norman Calder, Harald Motzki, Christopher Melchert, dan Wael B. Hallaq. Semua orientalis ini pada intinya sebulat suara bahwasanya fiqh dan ushul fiqh sebagai suatu bangunan ilmu baru muncul pada abad kedua dan atau ketiga Hijriah, sekitar seratus hingga dua ratus tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Masih menurut mereka, fiqh bermula dari praktik masyarakat yang tetap terpelihara turun-temurun alias living traditions istilah Schacht yang kemudian ditulis dan dibincangkan oleh sekelompok cendekiawan hingga lama-kelamaan tersusun and terbentuk menjadi sebuah disiplin ilmu. Hadits beserta sanadnya dicipta sebagai alat justifikasi suatu tindakan atau pendapat tertentu dalam polemik antar mazhab. Imam as-Syafi’i dinilai berjasa sebagai pengasas ushul fiqh akan tetapi juga dituduh bersalah sebagai pengunci pintu ijtihad dan penyebab kemandegan fiqh. Demikian pendapat Schacht dan para pengekornya[7].

Ketiga, teori kebohongan atau manipulasi, yang menuding adanya semacam konspirasi para cendekiawan pada abad-abad kedua, ketiga dan keempat Hijriah untuk menipu publik dengan ‘menyuapkan’ Hadits dan sebagainya ke ‘mulut’ Nabi saw. Dengan kata lain, orientalis menuduh ulama terdahulu telah melakukan kebohongan publik dengan bersepakat atas hadits yang mereka buat sendiri, tetapi disandarkan kepada Nabi. Sarjana orientalis semisal Motzki memuji seorang rekannya yang katanya telah mendemonstrasikan dengan contoh-contoh bagaimana tradisi sahabat menjadi Hadits dari Nabi.

D. LIMA TEORI ORIENTALIS TENTANG SYARI’AH

Pandangan orientalis Barat terhadap Syari’at Islam dapat dikategorikan sebagai berikut:

Pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwa Syariat Islam itu tak lebih dari sekadar wacana, karena tak pernah dilaksanakan dalam kenyataannya[8]. Teori ini dipegang oleh Noel J. Coulson[9]. Pandangan keliru ini jelas sekali mengesampingkan fakta sejarah Umat Islam, seolah-olah kaum Muslimin tidak pernah dan tidak mau mengamalkan Syari’at agamanya. Walaupun benar tidak selamanya dan tidak sepenuhnya hukum-hukum Syari’ah diberlakukan, hal itu tidak berarti ia merupakan idealisme belaka. Semua ulama dan kaum Muslimin dari dahulu hingga sekarang sepakat hukum Allah wajib ditegakkan di muka bumi dan mengabaikannya adalah dosa. Peliknya, teori yang pertama kali dilontarkan oleh Ignaz Goldziher dan diamini oleh Joseph Schacht ini justru disebarkan di Indonesia dalam bentuk dikotomi ‘Islam normatif’ dan ‘Islam historis’. Istilah Amin Abdullah ini penulis pikir hanyalah merupakan sebuah cara untuk memisahkan antara nash yang ideal, dan realitas yang terjadi pada umat Islam secara umum. Seharusnya kita (sebagai orang Indonesia pada khususnya) lebih bijak dengan mengintegrasikan keduanya, dimana historis yang harus mengikuti normatif. Bukannya membenarkan historis dan memegang teguh keyakinan nenek moyang, tetapi harus terus diperbaharui dengan disesuaikan dengan nash Qur’an dan Hadits (normatif)[10].

Pandangan kedua menyifatkan Syariat Islam itu sangat sewenang-wenangauthoritarian to the last degree, kata Hamilton A.R. Gibb[11]. Pendapat miring ini pun mirip dengan tuduhan kaum liberal yang dengan alasan sama menolak mentah-mentah implementasi Syari’ah di Indonesia negeri yang lebih dari sembilan-puluh persen penduduknya beragama Islam- karena dinilai menghukum sewenang-wenang. Padahal terdapat banyak data historis betapa luwes dan luasnya praktek legislasi dan yurisprudensi oleh para khulafa’ dan fuqaha’ sebelum ini, sebagaimana tercermin dalam kumpulan fatwa dan sebagainya.

Teori ketiga disuarakan oleh Snouck Hurgronje. Menurutnya, dari sejak awal telah terjadi perceraian antara Syari’ah (yakni ulama yang mewakili sistem perundangan dan kehakiman) dan Negara (yakni umara’ atau penguasa yang menentukan sistem perpolitikan). Masing-masing berjalan mengikut caranya sendiri. Penguasa tak peduli apa kata ulama, manakala ulama mengecam tirani penguasa dan kerusakan masyarakatnya. Gambaran negatif ini merupakan generalisasi semata. Ia hanya betul untuk beberapa kasus tertentu dan tidak terbukti dalam banyak periode dimana terjadi ‘simbiosis konstruktif’ meminjam istilah Haim Gerber yakni masa-masa dimana para ulama’ menyikapi situasi secara bijak dan realistis, bukan karena putus asa, melainkan karena mereka sangat menyadari pentingnya fungsi negara dalam mempertahankan Islam dan menegakkan Syari’ahnya.

Lawrence Rosen mengusung teori yang keempat. Menurut dia, Hukum Islam itu kacaubalau, bersumber dari budaya dan adat istiadat, tidak memiliki standar rasional seperti Hukum Barat (common law Anglo Amerika atau civil law Eropa) yang tersusun rapi lagi rasional[12]. Teori ini serupa dengan pernyataan seorang tokoh nasional Indonesia bahwa Syari’at Islam itu cermin budaya Arab dan oleh karenanya implementasi Syari’ah itu sama dengan Arabisasi yang berarti mundur ke abad ketujuh Masehi. Dalam bukunya, Rosen mengutip ungkapan beberapa praktisi hukum di Barat yang melecehkan lembaga peradilan masyarakat Islam.Ia sendiri lantas menarik kesimpulan bahwa sistem peradilan hukum Islam sangat tergantung pada budaya masyarakatnya. Pendapat miring Rosen ini memantulkan kembali imej orientalisme klasik tentang Islam sebagai sistem masyarakat primitif berbanding pola pikir Barat modern yang jauh lebih maju dan canggih.

Teori kelima dianjurkan J. Schacht, yang mendakwa Syari’at Islam hanya berjalan selama lebih kurang dua abad untuk kemudian mandeg gara-gara Imam as-Syafi’i[13]. Jika sebelumnya ramai orang berijtihad, maka zaman sesudah Imam as-Syafi’i bermulalah era kejumudan alias ankylose. Cukuplah literatur fatwa fuqaha’ sebagai pengejawantahan ijtihad menukas lontaran orientalis tersebut[14].

E. Kelemahan Fundamental Orientalis dalam Kajian Hukum Islam

Para pengamat studi orientalis yang jujur mengemukakan beberapa kelemahan orientalis yang sulit dipungkiri siapa pun. Di antaranya sebagai berikut[15] :

1. Tidak menguasai bahasa Arab secara baik, sense bahasa yang lemah, dan pemahaman yang terbatas atas konteks pemakaian bahasa Arab yang variatif. Kelemahan ini tentu mempengaruhi pemahaman mereka atas referensi-referensi Islam yang inti, seperti Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena itu, pemahaman mereka tentang Islam dan risalahnya rancu dan kabur. Hal ini diungkapkan oleh Syaikh Musthafa as-Siba’i setelah ia meninjau langsung pusat orientalisme di sekitar Eropa dan berdialog langsung dengan para orientalis. Para orientalis itu pada akhirnya banyak yang mengakui bahwa keterbatasan mereka dalam memahani materi-materi keislaman lebih menonjol ketimbang kelebihan metodologi yang mereka miliki. Bahkan, ada di antara mereka yang berterus terang bahwa Arablah (muslimlah) yang seharusnya memegang pekerjaan ini. Keterbatasan dalam menguasai bahasa Arab sangat mempengaruhi pemahaman mereka tentang Islam.

2. Perasaan “superioritas” sebagai orang Barat. Ilmuwan Barat, khususnya orientalis, senantiasa merasa bahwa “Barat” adalah “guru” dalam segala hal, khususnya dalam logika dan peradaban. Mereka cenderung tidak mau digurui oleh orang Timur.

3. Orientalis Barat sangat memegang teguh doktrin-doktrin mereka yang tidak boleh dikritik, bahkan sampai ke tingkat fanatik buta. Di antaranya dua doktrin inti, yaitu bahwa Al-Qur’an dalam pandangan insan Barat bukan kalam Allah dan Muhammad bukan rasul Allah. Doktrin ini sudah lebih dulu tertanam dalam pikiran mereka sebelum meneliti, sebab ini merupakan doktrin agama mereka yang ditanamkan sejak kecil. Sehingga, penelitian yang dilakukannya diarahkan hanya untuk mendukung asumsinya saja, bukan ingin mencari kebenaran secara objektif dan bebas. Karena itulah, peneliti-peneliti Barat menelan mentah-mentah riwayat-riwayat palsu, membesar-besarkan masalah kecil, menggunakan tuduhan palsu sebagai argumentasi, dan beralasan dengan sesuatu yang tidak diakui sebagi dalil. Mereka menolak semua pendapat yang berbeda dengan pikirannya, sekalipun itu benar dan argumentatif.

Dari segi metodologi, dia telah memiliki prakonsepsi dan tidak mau dikritik, bahkan fanatis. Oleh karena itu, hati-hati dengan hasil karya mereka. Sebab, dari mereka ada yang bersikap halus. Dalam tulisan-tulisannya, mereka sengaja menyajikan Islam secara benar dan kejayaannya di masa silam. Tetapi, ada satu atau dua poin konsep yang sangat membahayakan mereka selipkan dalam tulisan itu. Pujian dan sanjungan mereka terhadap Islam di permulaan bertujuan untuk menggiring pembaca untuk membenarkan seluruh isi buku dan tidak merasakan hal-hal yang ganjil, sehingga berkesimpulan bahwa penulis tersebut jujur dan objektif. Misalnya, kasus Noel J. Coulson, orientalis Inggris, guru besar “hukum Islam” di Universitas London. Sepintas lalu dengan membaca karya-karyanya, orang akan mengira bahwa Coulson adalah orientalis yang jujur. Karena, ia mengakui bahwa sistem hukum Islam adalah sistem yang dinamis, bisa digunakan, dan telah mengakar dalam sanubari umatnya. Berbeda sekali dengan pandangan gurunya, Joseph Schacht yang terang-terangan anti-hukum Islam, dan menuduhnya dengan sederetan tuduhan keji yang tidak masuk akal.

Di sela-sela sanjungannya dalam buku A History of Islamic Law, Coulson punya sejumlah pendapat yang aneh-aneh tentang kekuatan As-Sunnah sebagai sumber hukum dan tentang ushul fiqih. Coulson mengatakan bahwa Imam Syafi’i adalah “founder” ‘penemu’ ushul fiqih. Sebuah pendapat yang tidak pernah dibenarkan oleh ahli-ahli ushul fiqih sendiri. Ia juga berpendapat bahwa kedudukan As-Sunnah sebagai pelengkap Al-Qur’an untuk menyelami kehendak Ilahi pertama kali dikemukakan oleh Imam Syafi’i. Sepintas lalu Coulson terkesan mengagumi kehebatan Imam Syafi’i (yang memang hebat, walapun tidak perlu dikagumi Coulson), tetapi ada suatu kesan terselubung dari ungkapan itu. Yakni, bahwa sebelum Imam Syafi’i ilmu ushul fiqih belum ada. Padahal, rentang waktu dua abad sebelumnya justru merupakan pondasi berdirinya “building” ushul fiqih pada fase-fase berikutnya. Pandangan Coulson itu mengesankan bahwa sebelum datangnya Imam Syafi’i, para fuqaha tidak memiliki kerangka berijtihad yang disepakati bersama. Jelas ini merupakan sebuah pemutarbalikkan fakta. Lalu, bagaimana dahulu para fuqaha selama dua ratus tahun menetapkan hukum bagi kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat Islam, kalau mereka tidak punya standar yang disepakati bersama? Apakah mereka harus menunggu selama dua abad tidak berijtihad, hingga Imam Syafi’i datang?

4. Banyak dari kajian-kajian orientalisme yang terkait erat dengan kepentingan negara-negara tertentu yang mendanai kajian itu. Percuma saja negara-negara Barat menghamburkan uangnya jutaan bahkan miliaran dollar hanya untuk kepentingan ilmiah semata, kalau bukan karena ada target-target tertentu yang sangat berharga bagi kepentingan mereka. Target itu bisa bersifat politis, bisnis, strategis, dan misi. Hal ini seperti pernah diungkap oleh Prof. Ismail al-Faruqi dalam sebuah artikelnya di majalah The Contemporary Muslim bahwa studi Islam di Barat, khususnya di Amerika Serikat, tidak pernah luput dari misi zionis dan salibis. Orientalis yang mengajar di jurusan itu, katanya, sebagian besar orang Yahudi atau Kristen fanatis. Di beberapa universitas Amerika, studi Islam ditempatkan di Fakultas Lahut (teologi), jurusan “misionarisme” dan materinya dikenal dengan “perbandingan agama”. Dosen-dosen yang ada di sana kerjanya mencari “titik-titik lemah” Islam untuk diserang. Oleh karena itu, kajian-kajian mereka banyak menyangkut aliran-aliran yang menyimpang. Misalnya, Syi’ah, Isma’iliyah, Tasawud (mistisisme), Ahmadiyah, an Baha’iyyah. Jika mereka belajar Al-Qur’an, hadits, dan fiqih, motivasinya adalah untuk mengkritik kebenaran materi-materi itu. Dan ultimategoalnya untuk mencari “titik-titik lemah”. Sebagai misal, tulis Faruqi, “Pusat Studi Perbandingan Agama” di Harvard berada di bawah Fakultas Teologi. Demikian juga di Universitas Chicago.

BAB III

KESIMPULAN

Ushul Fiqh dan Fiqh para liberal (paham orientalis) sebenarnya didasarkan pada paradigma sekular orientalis.Secara intelektual, perilaku itu jelas menunjukkan betapa miskinnya pemikiran kaum liberal.Sebab, mereka tak percaya diri dengan warisan intelektual ulama salaf yang sangat kaya sehingga mereka lalu mengemis-ngemis pemikiran secara hina kepada Barat.Kalau Amien Rais menyebut bangsa ini sebagai beggar nation/bangsa pengemis karena gemar utang luar negeri; bolehlah kaum liberal (seperti JIL) kita sebut beggar intellectual/intelektual pengemis (Shidiq Al-Jawi).

Pada intinya para orientalis sebulat suara bahwasanya fiqh dan ushul fiqh sebagai suatu bangunan ilmu yang baru muncul pada abad kedua dan atau ketiga Hijriah, sekitar seratus hingga dua ratus tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Masih menurut mereka, fiqh bermula dari praktik masyarakat yang tetap terpelihara turun-temurun alias living traditions –istilah Schacht- yang kemudian ditulis dan dibincangkan oleh sekelompok cendekiawan hingga lama-kelamaan tersusun and terbentuk menjadi sebuah disiplin ilmu.

Bagi orientalis semuapendapat tentang semua perkara (termasuk yang qot’i dan bayyin dalam agama) harus selalu terbuka untuk diperdebatkan, menganggap semua pendapat (agama, aliran, sekte, kelompok dan lain-lain) sama benarnya, tergantung dari sudut pandang masing-masing dan tidak mampu lagi membedakan mana yang hak dan mana yang batil bahkan sengaja memutarbalikkan data dan fakta. Yang batil dipoles dan dikemas sedemikian rupa sehingga tampak seolah-olah haq. Ushul Fiqh dan Fiqh bukanlah bermaksud menciptakan hukum baru, sebagaimana tudingan orientalis. Akan tetapi suatu usaha memahami atau menemukan hukum yang terkandung di dalam nash.

DAFTAR PUSTAKA

1.Abdullah, Amir, 2000,Mencari Islam, Study Islam dengan Berbagai Pendekatan, YogyakartaT.Tiara Wacana Jogja.

2.Arif, Syamsuddin, Dr. M.A. 2008. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani Press.

3.Muslehuddin, Muhammad. 1991. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis. Penerjemah Yudian Wahyudi Asmin, et al. Philosophy of Islamic Law and the Orientalist. Yogyakarta: Tiara Wacana.

4.Ignaz Goldziher, Int roduction to Islamic Law. Alih bahasa Hesri Setiawan , Jakarta:INIS 1991

5.Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: The Clorendon Press, 1965), hlm

6.Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, (Oxford: The Clarendon Press, 1967)

7.H. A. R. Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996

8.Noel J. Coulson, The History of Islamic Law, (Edinburg: Edinburg University Press, 1990)

9.Abdul Hamid Mutawalli ,Asy-Syariat al islamiyah wa Mauqifu Ulama’ Al-musttasyriqin . Cairo 1976

10.Ma’mun Efendi Nur, : Mengenal Beberapa Metode Orientalis Terhadap Kajian Islam Risalah WALISONGO Fak. Da’wah Edisi ke-49 Januari-Febr 1994.

11.Abdurrahman Badawi, 2003, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Yogyakarta : LkiS)

12.http://ganesyawidya.wordpress.com/2010/11/22/ushul-fikih-palsu-kaum-liberal/ M. Shidiq Al-Jawi. Ushul Fikih Palsu Kaum Liberal.diakses tanggal 26 Mei 2011 pukul 13.39

13.http//al-islamu.com//Diadaptasi dari Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Daud Rasyid (Jakarta: Akbar, Media Eka Sarana, 2002), hlm. 117-125, 129, 131)

14.http//risalah hati.blogspot.com//

[1] Muslehuddin, Muhammad. 1991. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis. Penerjemah Yudian Wahyudi Asmin, et al. Philosophy of Islamic Law and the Orientalist. Yogyakarta: Tiara Wacana.

[2] Abdurrahman Badawi, 2003, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Yogyakarta : LkiS

[3] DR. Arif Syamsuddin, M.A. 2008. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani Press.

[4] Amir Abdullah, Mencari Islam, Study Islam dengan Berbagai Pendekatan, (Yogyakarta ;PT.Tiara Wacana Jogja, 2000), hal 149

[5] http//risalah hati.blogspot.com//

[6] Ignaz Goldziher, Int roduction to Islamic Law. Alih bahasa Hesri Setiawan , Jakarta:INIS 1991

[7] Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: The Clorendon Press, 1965),

[8] Ignaz Goldziher, Int roduction to Islamic Law. Alih bahasa Hesri Setiawan , Jakarta:INIS 1991

[9] Noel J. Coulson, The History of Islamic Law, (Edinburg: Edinburg University Press, 1990)

[10] Ma’mun Efendi Nur, : Mengenal Beberapa Metode Orientalis Terhadap Kajian Islam Risalah WALISONGO Fak. Da’wah Edisi ke-49 Januari-Febr 1994.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline