Judul: Hukum Kewarisan Islam (Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia)
Penulis: Dr. H. Moh. Muhibbin, S.H., M.Hum. & Dr. H. Abdul Wahid, S.H., M. Ag.
Penerbit: Sinar Grafika
Terbit: 2017
Cetakan : Cetakan Pertama, edisi revisi
Buku ini membahas mengenai hukum waris yang sesuai dengan syariat islam. Mulai dari pengertian, siapa saja yang berhak menerima waris, berapa bagian masing-masingnnya dan cara menghitung waris juga dimuat dalam buku ini. Bagian paling awal buku menjelaskan tentang pengertian Hukum kewarisan atau fiqih mawaris, adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan tentang bagaimana proses pemindahan Siapa saja yang berhak menerima harta peninggalan itu serta berapa bagian masing-masing.
Fikih mawaris kadang disebut juga dengan istilah al faraid dalam istilah mawaris dikhususkan kepada suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara. Menurut para ulama mempelajari ilmu faraid adalah fardhu kifayah. Tujuannya Adalah agar kita dapat menyelesaikan masalah harta peninggalan sesuai dengan ketentuan agama, sampai ada yang dirugikan dan termakan bagiannya oleh ahli waris yang lain.
Dasar dan sumber hukum kewarisan Islam yang pertama adalah ayat-ayat Alquran yaitu pada Surah Annisa ayat 7 sampai 14. Juga terdapat pada surat an-nisa ayat 176. Kedua Al Hadits, Ada beberapa hadis Nabi Muhammad yang secara langsung mengatur tentang kewarisan. Contohnya hadis dari Jabir Ibnu Abdullah berkata janda sa'ad datang kepada rasul Allah bersama dua orang anak perempuannya. Yang ketiga ijtihad para ulama. Meski sudah dijelaskan pada Alquran dan hadis namun dalam beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam Alquran maupun hadis.
Asas hukum kewarisan Islam. Pertama asas ijbari yang berarti bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut Ketetapan Allah. Yang kedua asas bilateral artinya bahwa harta waris beralih kepada ahli warisnya melalui dua arah atau dua belah pihak yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat harus keturunan perempuan.
Yang ketiga asas Individual, harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan.Yang keempat Asas keadilan berimbang, antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaannya. Yang kelima asas semata akibat kematian, harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama pewaris lama yang mempunyai harta masih hidup.
Tradisi pembagian harta waris pada zaman Jahiliyah berpegang teguh pada tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Sebab-sebab mereka berhak menerima harta warisan. Pertama, Karena hubungan kerabat, antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Kedua, Karena janji setia adalah dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan mereka. Ketiga, Pengangkatan anak. Bila anak angkat sudah dewasa dan Bapak angkatnya meninggal maka yang mempusakai harta peninggalan bapaknya adalah anak angkatnya.