Lihat ke Halaman Asli

Arisan Keluarga

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kubuka pintu depan dengan perlahan. Sebuah amplop cokelat kecil langsung menghadang kakiku yang hendak melangkah keruang dalam. Aku langsung mengenali kartu tersebut. Dan tidak perlu repot-repot membukanya. Isinya sudah dapat kutebak. Kulirik kalender meja diatas bupet kecil. Sekarang tanggal 13. Dan besok undangan itu berlaku.

Aku menghenyakkan tubuhku di atas sofa. Kubuka jendela samping dan membiarkan udara sejuk mengepung ruang tamu rumahku. Alangkah segarnya. Setelah dibakar terik matahari September sepulang dari kantor rumah menjadi tempat yang senantiasa membuatku nyaman.

Arisan keluarga. Kegiatan yang diawal-awal terasa menyenangkan buatku. Betapa tidak diacara tersebut aku bias bertemu sepupuku, tante dan omku, serta anak-anak kecil keponakanku, ipar-iparkudan remaja-remaja yang lagi hebohnya menikmati dunia, asset keluarga besar kami.

Tapi beberapa kali setelahnya aku mulai dilanda kejenuhan. Bagaimana tidak, acara itu kini sudah menjadi ajang lain dari yang semestinya. Aku masih ingat alas an Om Hasan, Pamanku yang pejabat teras di sebuah instansi pemerintah,untuk mengadakan acara ini pertama kali, “Kita butuh satu wadah yang bisa mengikat tali silaturrahmi keluarga. Kita ingin saling mengenal dan mengetahui kabar keluarga. Baik yang jaraknya berdekatan, terlebih yang jauh. Juga agar anak-anak kita saling mengenal dan akrab. Tidak asing satu sama lain,”

Dan Pamanku yang lain serta kakek kami yang sepuh mengamini alasan Om Hasan pada pembukaan awal acara ini. Dan berdatanganlah kerabat yang masih satu kakek dan nenek dari segala penjuru kota dan desa. Mendatangi tempat-tempat yang telah ditetapkan di awal tahun pengundian. Dan memang sangat menarik. Karena aku bisa temu kangen dengan sepupu-sepuku yang sangat karib denganku di masa kecil menjelang remaja. Kami tak putus-putusnya berbagi cerita. Baik yang masih tersisa dari kenangan masa lalu, maupun kisah yang kami perankan di masa kini.

Dan memasuki tahun ketiga terasa mulai ada yang tidak beres menurutku. Tapi mungkin bagi keluargaku yang lain semua baik-baik saja. Bagiku arisan ini lebih kepada agenda makan dan pamer barang-barang mahal. Itu kurasakan setelah tak lagi menyibukkan diri mengobrol dengan para sepupu. Aku jadi sadar bahwa penyelenggara arisan seolah saling beromba memamerkan resep hidangan terbaru yang belum pernah terhidang di meja makan pada acara-acara sebelumnya. Komplit dengan alat hidang yang juga diupayakan baru berikut penataannya yang menurutku terlalu berlebihan. Sebenarnya bagus juga sih sebagai ajang mencicipi kuliner-khas, sekaligus belajar menata hidangan yang pas untuk menjamu tamu yang segudang. Tapi jika penyelenggara harus merogoh kocek yang tidak sedikit untuk sebuah prestise rasanya keterlaluan. Ini sudah melenceng jauh dari harapan beberapa sepuh. Apakah silaturrahmi antar keluarga harus disertai dengan unjuk kemampuan menyelenggarakan acara berbiaya mahal hanya untuk memperoleh decak kagum sesaat? Yang kemudian hanya jadi bahan perbincangan hangat cuma sehari itu saja?

Karena suntuk aku tidak terlau meibatkan diri dalam obrolan dan komentar seputar resep terbaru itu berikut penataan dan alat hidangnya. Aku melebarkan saja sayapku untuk menyapa yang lain-lainnya. Karena kupikir ini mumpung kumpul. Saatnya membangun komunikasi yang sehat dengan semua keluarga. Dari yang paling muda sampai yang paling tua.

Mulailah aku menyapa ponakan-ponakanku yang terkecil. Sangat menyenangkan ikut dalam hiruk pikuk dunia bocah. Bernyanyi, mendongeng, berlari pura-pura mengejar, pokoknya sangat menyenangkan. Dan ini bagian yang aku sukai dari arisan keuarga. Lalu aku beralih ke yang remaja. Di sini telah mulai ada gap. Aku melihat ada yang terasa kurang nyaman. Beberapa remaja berkumpul berkelompok. Dan masing-masing sibuk dengan kelompoknya. Tapi kebanyakan mengobrol sambil memainkan tablet atau ponsel atau gadget terbaru lainnya.

Sungguh berbeda dengan masa remajaku dulu.Seluruh aktifitas terasa sangat bermakna. Dan ikatan diantara kami begitu erat hingga kami dewasa. Jujur aku merindukan sepupu-sepupuku saat harus studi di tempat yang jauh dari mereka. Teringat saat kami berkumpul dirumah nenek setiap liburan tiba. Menjaga kebun dan sawah nenek yang menjelang panen, membantu beberapa nelayan yang terhitung langganan keluarga melepaskan telur-telur ikan dari jala, mengobrol dalam kelambu dengan para sepupu yang menginap bersama di rumah nenek hinga jauh malam, membantu kakek menjemur gabah hingga kering…dan aneka kegiatan yang bagikusetelah dewasa cukup membantuku melewati masa-masa sulit di rantau. Kegiatan yang melatihku untuk tegar dan selalu bersemangat dalam menuntut ilmu.

Kembali pada keponakan-keponakanku yang hidup di masa kini. Ada sepenggal kekhawatiran dalam diriku melihat tingkah pola mereka. Mengapa anak-anak muda jaman sekarang kelihatan dekat dalam jarak tapi hati mereka tidak saling berdekatan. Mengapa orang-orang sekitar dibiarkan berlalu lalang tanpa saling menyapa? Cantolan headphone dan earphone telah membatasi dirinya dengan dunia luar. Ia berkomunikasi hanya kepada suara music. Ia sibuk dengan gadgetnya. Mereka tidak lagi membumi. Tetapi ada didunia antah berantah. Apakah mereka juga akan saling merindukan satu sama lain, jika kelak mereka terpisah jarak yang jauh. Seperti halnya aku yang juga terkenang satu dua sepupu yang saat ini masih menuntut ilmu di luar negeri, yang telah nyaris dua tahun absen dari acara kumpul keluarga ini?

Aku sedih dengan keadaan itu. Apakah mereka akan peduli jika kami tante-tantenya ada yang butuh bantuan mereka, apakah mereka akan dengan mudah mengulurkan tangan dan hatinya kepada kami, jika keadaan mereka hanya bisa menyibukkan diri dengan alat-alat elektronik modern macam itu. Apakah mereka bisa meninggalkan game-game menarik di tablet dan android lainnya untuk datang memberikan empati kepada yang membutuhkan? Walahu’alam.

Tanya itu masih menggelegar dalam benakku hingga kini, saat masih kugenggam amplop kecil itu.

“ Apa itu, sayang,” suamiku mendadak muncul didekatku. Dan pikiranku yang tadinya melayang-layang tak karuan memikirkan acara besok menguap.

“Biasa. Undangan arisan keluarga,”

“Di rumah siapa?”

“Tante Harisah,”

“Ok. Nanti kuantar.” Tandasnya berlalu ke dalam kamar.

“Tidak usah. Aku tidak akan pergi,”

“Lho kenapa?” Sebuah kerutan kecil terbentuk didahinya. Tentu ia heran. Karena selama ini dia tahu aku senantiasa antusias.

Lalu aku mengungkap uneg-unegku soal Arisan itu. Suamiku malah tertawa. Aku bingung. Apakah alasanku terlalu mengada-ada baginya.

“Sayang…jangan jadikan itu masalah besar. Justru sebenarnya aku juga sempat mengalami hal yang sama denganmu. Merasa mulai ada yang tidak benar. Tapi aku masih menunggu saat yang tepat untuk membicarakannya padamu.

Aku kuatir kamu tersinggung. Karena ini acara keluarga besarmu. Aku tidak mau ada salah paham,” tukas suamiku bijak .

“Tapi aku sarankan ini dibicarakan secara tertutup dengan para orangtua. Aku ada usulan,”

Suamiku lalu mengungkapkan gagasan-gagasannya. Menurut dia arisan akan diubah format kegiatannya. Bukan lagi hanya sekedar berkumpul, makan dan mengobrol. Tetapi ada aktifitas yang akan menggerakkan seluruh anggota mulai dari yang terkecil hingga yang paling tua.

“Kita mulai dulu dari kegiatan ringan. Jangan menghidangkan makanan sebelum tamu datang. Tapi kita memasak lauknya pada saat tamu datang. Anak remajanya yang di minta membuat. Didampingi oleh orang dewasa,”

“Maksudnya?”

“Kita bikin acara barbekyu alias bakar ikan . Menunya sederhana saja. Nasi santan, sambal atau rica-rica dari tomat mentah, dan lauk-pauk praktis serta sederhana lainnya. Tidak usah menu gebyar-gebyar dan heboh kayak kemarin-kemarin….”

Lau mengalirah gagasan-gagasan segar suamiku yang rasanya masuk akal. Hatiku dijalari gairah yang aneh. Menyenangkan sekali. Kubayangkan seluruh anggota sibuk saling membantu. Ada yang akan meracik sambal. Ada yang akan menata piring dan alat hidang. Ada yang akan sibuk memotong buah pencuci mulut. Ada yang akan berpanas-panas membakar ikan. Dan tidak akan ada anak yang berkelompok cuek-cuekan dengan pameran gadget terbaru. Karena semua punya aktifitas.

“Bulan depan kan kita penyelenggaranya. Biarlah kita sendiri yang mencoba menerapkannya. Mungkin akan ada penolakan dari satu dua keluarga. Tak mengapa. Yang penting para sepuh dan orangtua ada yang setuju. Kita jalankan,”

Mendengar usulan demi usulan dari suamiku hatiku menjadi tenang. Semoga apa yang kami harapkan untuk perubahan ini bisa dijalankan. Tidak sabar rasanya menunggu hari itu tiba. Tanggal 13 bulan depan

…………

Tanggal 13 Oktober…

Akhirnya hari mendebarkan itu tiba. Setelah sibuk meyakinkan para sepuh dan orangtua usulan kami disetujui. Beberapa memang menolak. Tapi para sepuh membeberkan nilai-nilai positif yang bisa diambil dari kegiatan ini.

Di teras depan suamiku berdiri menyambut tamu. Di dapur aku mengorganisir bahan-bahan yang akan di masak. Satu demi satu keluarga muncul sejak jam delapan pagi. Dan aku langsung memberi instruksi ini itu untuk persiapan. Beberapa remaja merengut enggan. Tapi aku coba membujuk dan meyakinkan bahwa ini arisan keluarga yang menyenangkan.

“Kalian akan tahu bagaimana repotnya orangtua harus menyiapkan menu di rumah. Besok-besok kan kalian juga akan menjadi tua seperti kami. Ini ajang latihannya,” ujarku setengah bercanda. Pelan dan pasti mereka berpartisipasi. Yang sudah terampil membersihkan ikan dan bumbu mengajari yang belum terampil

Ibu-ibu yang awalnya canggung, akhirnya berbaur. Bercanda ditengah-tengah kesibukan menata meja. Para ayah berpartisipasi mengawasi anak-anak dan remaja yang membakar ikan. Subhanallah. Hatiku dipenuhi degup bahagia melihat kekariban yang terjalin perlahan diantara keluargaku.

Santapanpun terasa lebih nikmat dan dihargai. Karena semua merasakan hasil karyanya sendiri. Padahal biaya yang kukeluarkan tidak sebesar yang pernah kuselenggarakan di masa yang lewat. Meski beberapa menggerutu karena baju mahal mereka kena noda. Toh masih ada yang berseloroh “lain kali pakai pakaian yang kasual saja.”

Akhirnya kejenuhanku terobati. Meski rasanya melelahkan, aku puas melihat wajah-wajah keluargaku lebih bersemangat dan bersahabat. Sebelum kegiatan ditutup, kakekku memberi komentar bahwa kegiatan seperti ini sebaiknya dilanjutkan Tapi semua harus mengeluarkan ide yang lebih kreatif lagi.

Pamanku yang punya giliran bulan depan, paman Taufik, malah punya usul yang kurasakan lebih bermakna dan manusiawi. Usulannya adalah “Bulan depan kita Anjangsana ke Panti Asuhan dan Panti Jompo.” Uang hasil Arisan bukan dipakai menjamu keluarga. Tapi disumbangkan ke mereka yang lebih membutuhkan. Semua bertepuk tangan senang.

Ada banyak pelajaran berharga yang bisa kami petik dari pertemuan kali ini. Pertama hati keluargaku mulai lebih terbuka dan lebih bijak memandang hal-hal yang berguna bagi kehidupan. Dan yang kedua betapa pentingnya untuk menuangkan ide dan mengimplementasikan ide yang kita miliki.

Aku dan suamiku yang lebih senang, karena Arisan keluarga kami di masa-masa datang tidak lagi akan memberatkan langkah kakiku menghadirinya.

Leppe, 12 Agustus 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline