Lihat ke Halaman Asli

Zuhrah Machy

Membangun peradaban ilmu dengan Menulis

Perkawinan versus Perceraian

Diperbarui: 2 Juli 2021   10:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perkawinan adalah peristiwa sakral karena merupakan perintah Tuhan. Di dalamnya menyatukan dua insan yang berbeda untuk bisa saling memahami, menghargai, menjadi mitra hidup. Bertujuan untuk melestarikan keturunan, memperoleh harta untuk sandang pangan dan papan dengan kata lain bahagia dunia akhirat. Tetapi kadangkala banyak hal terjadi sehingga tujuan yang ingin dicapai tidak sesuai keinginan. Dekat sebelum menikah dalam rentang waktu yang cukup lama pun tidak menjamin bahwa hubungan tersebut mulus. Secara defacto bahwa dewasa ini perkawinan berbanding lurus dengan angka perceraian, dengan banyak variabel pemicu seperti pernikahan dini akibat dispensasi perkawinan yang diberikan oleh Pengadilan Agama. Belum lagi KDRT yang menimbulkan traumatis, dan variabel lainnya. Ini menunjukkan bahwa perkawinan tidak lagi memiliki makna sakral dan janji suci, tetapi dianggap sebagai drama hidup yang perlu dicoba dimulai dan bisa diakhiri kapan saja sesuai keinginan.

Perceraian yang merupakan aib baik bagi diri sendiri maupun keluarga juga berasa sudah tak bermakna. Agama Islam memang tidak melarang perceraian, tetapi membenci. Karena dikhawatirkan ada hal-hal merugikan salah satu sehingga diberi celah untuk melakukannya. Celah-celah kecil seperti itu yang kini digunakan sebagai aji mumpung oleh masyarakat untuk mengajukan perceraian. Pada hari ini, segala bentuk perbuatan negatif bukan lagi sebagai aib, tetapi lebih kepada kesalahan kecil yang terampuni. Jika dulu pelaku perceraian memiliki rasa malu yang besar, tetapi kini tidak lagi. Bila dahulu para tetua kita menikah diusia matang, kini di bawah usiapun bisa menikah. 

Negara telah turut andil dalam menentukan usia pernikahan, dimana laki-laki dan perempuan sama-sama harus berusia 19 tahun, Tetapi itu tidak membuat para remaja turut mensukseskan program pemerintah dalam meminimalisir perceraian, nikah di bawah usia, KDRT dan lainnya. Artinya regulasi tersebut tidak serta merta membuat masyarakat sadar hukum. Ini menjadi perhatian bersama supaya semua pihak terlibat dalam mengedukasi masyarakat akan dampak pernikahan dini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline