Lihat ke Halaman Asli

Zuhriyyah Hidayati

Ibu tiga putra putri yang konsen pada dunia pendidikan, anak, dan keluarga

Pelanggan Sariawan

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

"Pelanggan sariawan," begitulah suami memberi julukan kepada saya. Bisa dikatakan, separuh umur saya terlalui bersama sariawan. Sejak kecil sampai menjadi seorang ibu, penyakit satu ini masih tetap setia menemani. Ibu saya, teman-teman, dari teman SD sampai teman kuliah sampai hafal betul langganan saya. Kalau mereka menelpon dan tidak saya angkat, pasti mereka faham kalau saya sedang sariawan.

Karena seringnya saya menderita sariawan, banyak cerita tentang sariawan yang saya alami. Mulai dari makan bubur bayi, dikira bisu, sampai akhirnya saya harus istirahat total karena sariawan. Karena parahnya sariawan yang saya rasakan, saya tidak bisa makan. Rasanya semua makanan (bahkan makanan kesukaan saya pun) terasa seperti pisau di lidah saya. Karena itulah saya pernah beberapa hari hanya makan bubur bayi, bubur sum-sum, dan makanan bubur-buburan lain untuk mengganjal perut.

Di lain waktu, saya pernah dikira bisu oleh sopir angkot karena banyak sariawan di rongga mulut yang menyebabkan saya sulit sekali membuka mulut. Waktu itu sang sopir bertanya, "Turun mana neng?" Saya hanya menunjuk halte depan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Akhinya sang sopir juga membalas saya dengan menunjuk halte tersebut untuk memastikan. Saat sampai di halte, sang sopir kembali berisyarat kalau angkot sudah sampai halte.

Cerita terakhir baru saya alami dua minggu lalu. Kali ini saya menderita sariawan disertai radang tenggorokan akut. Dan menurut saya, ini pengalaman terburuk yang saya rasakan selama menjadi pelanggan sariawan. Saya tidak bisa bicara, tidak bisa minum, makan, bahkan untuk menelan ludah (yang terkadang gerakan refleks) pun rasanya menelan biji kedondong. Sakitnya minta ampun. Otomatis selama satu minggu, perut saya tidak terisi makanan atau minuman apapun selain beberapa gelas air putih yang saya paksakan masuk. Suami pun sudah berusaha membelikan makanan-makanan kesukaan saya seperti nasi padang, sate madura, soto lamongan, bakso solo, dan lainnya. Tapi keinginan untuk menghabiskan makanan itu luluh lantak kala suapan pertama masuk ke mulut. Semua makanan kesukaan saya itu berubah bentuk menjadi duri-duri yang tajam menancap di tenggorokan saya setelah sebelumnya berhasil menyenggol beberapa butir sariawan di gusi, lidah, dan bibir. Saya pun lemas dan hanya bisa rebahan seperti orang sakit parah karena tidak punya tenaga sedikit pun untuk bergerak. Pekerjaan rumah terbengkalai, anak tidak terurus, dan semua kacau balau. Semua hanya karena sariawan dan panas dalam. Suami pun menyerah untuk membujuk dan akhirnya memaksa saya untuk periksa ke dokter. Inilah untuk pertama kalinya dalam hidup saya memeriksakan sariawan ke dokter. Sungguh luar biasa. Bagi saya yang merupakan pelanggan sariawan ini, ke dokter untuk memeriksakan sariawan adalah hal yang luar biasa, karena seingat saya, saya berkunjung ke dokter itu hanya bisa dihitung jari, waktu periksa gangguan haid, periksa kandungan, cabut gigi, dan kali ini, periksa sariawan. Saya memang malas kalau ke dokter, karena alhamdulillah, sampai saat ini sakit yang pernah saya alami hanya seputar meriang, demam, flu, sakit kepala, yang bisa sembuh hanya dengan istirahat, minum air putih, dan resep-resep tradisional.

Lantas, apa yang biasa saya lakukan kalau sariawan datang? Biasanya kalau sariawan itu bersifat ringan (saya sampai bisa mengidentifikasi mana sariawan ringan dan mana sariawan berat saking seringnya saya menderita sariawan), maka saya biarkan saja sariwan tersebut hilang tanpa mengobatinya. Hanya saja saya akan menambah buah yang mengandung vitamin sebagai asupan makanan saya. Saya usahakan tetap makan, meski ada rasa sakit yang melanda. Biasanya saya membuat sayuran berkuah untuk mengurangi rasa sakit saat makan. Kalau sariawan sudah agak parah, biasanya saya membuat obat-obat tradisioal dari bahan-bahan sederhana di rumah, seperti olesan minyak bekas menggoreng, madu, air rebusan kemangi, perasan kunyit parut campur garam, jus tomat, cincau hijau, dan lainnya. Saya sengaja memilih resep-resep tradisional tersebut karena saya sudah tidak mempan lagi dengan penyegar-penyegar pencegah sariawan dan obat-obat sariawan yang dijual di warung-warung. Ceritanya, dulu waktu saya sudah tidak tahan lagi dengan sariwan yang saya derita, saya membeli vitamin C dosis tinggi. Kata apoteker, itu yang membuat saya kebal dengan vitamin-vitamin C dosis rendah. Sadar akan over dosis ini, saya kemudian merubah cara saya dalam mengatasi sariawan dengan cara-cara tradisional yang bebas dari dosis.

Namun, nampaknya saya melewatkan satu obat sariawan yang bernama KULDON SARIAWAN yang rupanya terbuat dari bahan-bahan herbal. Sudah waktunya untuk menyiapkan KULDON SARIAWAN di tempat obat sebagai persediaan kalau-kalau sariawan datang. Tentunya upaya ini harus dibarengi dengan pola hidup dan pola makan yang sehat, serta tidak kurang minum air putih. Ini solusi jitu penanganan masalah saiawan dan panas dalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline