Lihat ke Halaman Asli

Potensi Kekerasan Seksual di Sekolah: Analisis Sederhana

Diperbarui: 13 Mei 2024   12:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendidikan merupakan ruang aman bagi murid untuk belajar dan berkembang. Namun, dalam beberapa kasus, ruang aman ini ternoda oleh tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, salah satunya guru (Shuy, 2001). Hal ini merupakan ancaman serius terhadap perkembangan murid. Kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dapat berdampak traumatis bagi korbannya dan memiliki konsekuensi jangka panjang. Penting untuk melakukan upaya pencegahan dan penanganan yang tepat untuk melindungi murid dari bahaya kekerasan seksual (Stubbs, 2006). Linguistik forensik, sebagai cabang ilmu linguistik yang diterapkan pada penyelidikan hukum, menawarkan alat untuk menganalisis percakapan dan mengidentifikasi potensi pelanggaran seksual. Analisis ini dapat membantu penegak hukum dalam menyelidiki kasus-kasus kekerasan seksual dan memberikan bukti yang kuat di pengadilan.

Percakapan yang dianalisis dalam tulisan ini terjadi antara seorang guru dan murid perempuan. Murid datang ke ruang guru untuk mengkonfirmasi nomor kamarnya saat kegiatan study tour. Guru mengatakan, "Kamu di kamar itu." Namun, murid tersebut keberatan dan protes kepada sang guru, karena teman sekamarnya bukan teman sekelasnya. Dia menginginkan teman sekamarnya merupakan teman sekelasnya. Lalu dijawab oleh sang guru, "Ya udah atuh, kamu di kamar Bapak." Ucapan guru "Ya udah atuh, kamu di kamar Bapak" berpotensi menimbulkan permasalahan.

Ucapan guru "Ya udah atuh, kamu di kamar Bapak" dapat dianalisis menggunakan teori Speech Acts (Searle, 1969 dan Weigand, 2010). Dalam kerangka ini, ucapan tersebut diklasifikasikan sebagai directive, yakni tindakan tutur yang bertujuan untuk membuat pendengar melakukan sesuatu. Secara spesifik, ucapan guru berfungsi sebagai perintah yang menginstruksikan murid untuk tinggal di kamarnya. Inten atau niat di balik ucapan ini adalah mengatur pembagian kamar murid, namun konsekuensi yang ditimbulkan adalah murid merasa dipaksa dan tidak memiliki pilihan lain selain menuruti perintah guru. Hal ini dapat dilihat sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan dan rasa terancam bagi murid.

Lain halnya dengan analisis pragmatik yang mempertimbangkan konteks pembicaraan dan pengetahuan bersama antara penutur dan lawan bicara (Levinson, 1983). Dalam kasus ini, relevansi analisis pragmatik terletak pada posisi guru sebagai figur otoritas dan murid sebagai pihak yang rentan. Meskipun tuturan guru ini tidak mengandung unsur seksual, murid bisa menginterpretasikan tuturan ini sebagai ancaman atau rayuan karena ada perbedaan kekuasaan (Ehrlich, 2001).

Namun, jika kita menggunakan interpretasi positif, kita dapat mengatakan bahwa guru mungkin bermaksud membantu murid dengan menawarkan kamarnya sebagai solusi alternatif. Kemungkinan ini diperkuat jika guru memiliki hubungan yang baik dan suportif dengan murid tersebut. Tidak semua murid akan menginterpretasikan tuturan guru sebagai ancaman atau rayuan, tergantung pada konteks dan hubungan antara guru dan murid tersebut. Selain itu, penting untuk memperhatikan bahwa kekuasaan guru dalam konteks pendidikan seharusnya digunakan untuk mendukung dan membimbing murid, bukan untuk menimbulkan ketidaknyamanan.

Catatan:

  • Penting untuk diingat bahwa analisis ini hanya berdasarkan data yang tersedia dan tidak dapat dijadikan kesimpulan definitif. Investigasi menyeluruh dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan bukti yang ada diperlukan untuk memastikan kebenaran.
  • Tulisan ini hanya membahas aspek linguistik forensik dari kasus ini. Aspek-aspek lain, seperti psikologis, sosiologis, dan hukum, perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tentang situasi tersebut.

Referensi

Brown, P., & Levinson, S.C. (1987). Politeness: Some universals in language usage. Cambridge University Press.

Ehrlich, S. (2001). Representing Rape: Language and Sexual Consent. Routledge.

Levinson, S. C. (1983). Pragmatics. Cambridge University Press.

Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in the philosophy of language. Cambridge University Press.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline