Dugaan Kecurangan Terstruktur, Sistemik, dan Masif pada Pemilu Presiden 2024
Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024 telah selesai. Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan hasil Pilpres tahun ini. Pasangan nomor urut dua, Prabowo - Gibran, dinyatakan sebagai pemenang dengan jumlah suara mencapai 96.214.921 suara. Perolehan suara yang mencapai 58,58 % suara nasional dan menang di 36 dari 38 provinsi di Indonesia (JDIH KPU, n.d). Namun, hasil ini tidak diterima begitu saja oleh dua pasangan lainnya. Nyatanya, mereka mengajukan gugatan hasil Pilpres 2024 ini ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menuduh adanya dugaan kecurangan terstruktur, sistemik, dan masif yang dilakukan dalam Pilpres tahun ini. Dugaan kecurangan dalam Pilpres kali ini telah menjadi perdebatan yang sengit di tengah masyarakat.
Konsep Kecurangan
Sebelum melihat jauh seperti apa dugaan kecurangan yang disampaikan, kita bisa melihat terlebih dahulu apa itu kecurangan. Kata 'kecurangan' memiliki asal kata 'curang' yang didefinisikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai perilaku tidak jujur, memiliki sifat tidak lurus hati, dan tidak adil (KBBI VI Daring, n.d). Kecurangan merupakan perbuatan melanggar hukum dan tidak sesuai dengan aturan serta norma yang ada. Penyebab seseorang melakukan kecurangan bisa karena berbagai hal. Menurut Donald R. Cressey terdapat tiga faktor penyebab kecurangan, antara lain tekanan, peluang, dan rasionalisasi. Hal ini sering dikenal dengan Fraud Triangle Theory (Febriandani & Utomo, 2022).
Kecurangan Terstruktur, Sistemik, dan Masif (TSM)
Dalam KBBI, kata 'kecurangan' berarti perbuatan yang curang, ketidakjujuran, dan keculasan, sedangkan kata 'terstruktur' memiliki makna sudah diatur dengan baik dan teroganisir dengan rapi (KBBI VI Daring, n.d). Dalam peraturan pemilu, kecurangan terstruktur mengacu pada tindakan kolaboratif antara pihak pemerintah dengan penyelenggara pemilu yang melanggar aturan dalam pelaksanaan pemilu (Asnawi et al., 2023). Dari definisi ini, kita dapat simpulkan bahwa kecurangan terstruktur berarti pelanggaran yang dilakukan bersama-sama secara terorganisir untuk mempengaruhi hasil pemilu.
Sementara itu, sistemik berarti melibatkan seluruh berbagai perangkat saling terhubung secara teratur sehingga membentuk keseluruhan yang utuh dan terintegrasi. Dalam konteks pemilu, pelanggaran sistematis merujuk pada tindakan pelanggaran yang direncanakan dengan matang dan teratur (Asnawi et al., 2023). Jadi, kecurangan sistemik dapat diidentikkan dengan pelanggaran yang melibatkan berbagai aspek sistem pemilu secara teratur dan terencana.
Pada sisi lain, masif dapat diartikan besar-besaran dan sangat luas. Pada konteks pemilu, pelanggaran masif dapat diartikan pelanggaran yang meluas dan memiliki dampak serta pengaruh yang sangat besar (Asnawi et al., 2023). Dengan kata lain, kecurangan masif adalah kecurangan yang dilakukan dalam skala besar dan memiliki dampak yang luas terhadap hasil pemilu.
Kecurangan TSM dalam Konteks Pemilu Presiden 2024
Dalam konteks Pilpres 2024, kecurangan terstruktur, sistemik, dan masif merupakan tindakan kecurangan yang terorganisir serta direncanakan dengan baik. Hal ini tidak hanya berlangsung secara acak ataupun pada waktu-waktu tertentu saja, namun terdapat juga usaha yang terkoordinasi dengan rapi dan dalam skala besar dengan berbagai cara untuk memanipulasi hasil pemilihan untuk memenangkan salah satu pasangan.
Seperti yang diungkapkan oleh film dokumenter Dirty Vote yang ditayangkan di kanal YouTube beberapa hari sebelum hari pencoblosan, terdapat berbagai macam tindakan yang dapat diduga sebagai tindakan kecurangan TSM. Dugaan yang pertama adalah mobilisasi kekuatan melalui pemilihan penjabat kepala daerah yang memiliki hubungan dengan pusat kekuasaan yang ditempatkan di daerah-daerah strategis. Beberapa penjabat kepala daerah tersebut, yang merupakan pejabat publik, secara terang-terangan mendukung calon tertentu selama masa kampanye. Tidak hanya itu, mobilisasi kepala desa beberapa waktu lalu diduga juga merupakan salah satu cara untuk mendukung salah satu pasangan.
Dugaan kedua adalah penyaluran bantuan sosial (bansos) yang diduga digunakan sebagai alat politik berlebihan. Sebetulnya yang dipermasalahkan dari pembagian bansos tersebut adalah timing-nya. Karena dibagikan di waktu yang berdekatan dengan waktu pencoblosan dan dalam jumlah yang besar. Bahkan di beberapa tempat, presiden sendiri yang membagikannya. Hal ini dapat dikatakan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power (Abdurrahman & Fauzi, 2022). Selain itu, beberapa kebijakan populis menjelang Pilpres pun menjadi perhatian publik. Pemerintah memberi kenaikan pada gaji Pegawai Negeri Sipil dan pensiunan. Tentu hal ini bisa menjadi pertanyaan, apakah kebijakan ini memang untuk kesejahteraan pegawai atau hanya kebijakan populisme saja, seperti yang disampaikan oleh Bivitri Susanti dalam film Dirty Vote.
Dugaan selanjutnya adalah partisipasi beberapa pejabat negara yang ikut mengkampanyekan salah satu pasangan ketika sedang melakukan tugas kedinasan. Selain itu, ketika para pejabat negara tersebut sedang berkampanye, tidak ada informasi jelas apakah mereka sedang cuti atau tidak. Tentu hal ini bisa dipersoalkan. Dugaan-dugaan ini menimbulkan berbagai macam isu bahwa telah terjadi pelanggaran pada Pilpres 2024 yang terstruktur, sistemik, dan masif untuk memenangkan pasangan calon presiden tertentu.
Sebetulnya, jika kita tarik garis ke belakang, yang menjadi pangkal permasalahan adalah ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan perihal batas usia seseorang dalam pencalonan sebagai Presiden atau Wakil Presiden. Dalam putusannya, MK memperbolehkan sesorang dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden walau usianya belum mencapai 40 tahun dengan syarat memiliki pengalaman sebagai kepala daerah. Keputusan ini terbukti melanggar kode etik dengan diberhentikannya ketua hakim MK oleh Majelis Kehormatan MK.