Lihat ke Halaman Asli

Zuhdi Triyanto

Tenaga Administrasi

Melipat Rindu Menumbuhkan Sepi

Diperbarui: 19 Oktober 2024   01:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senin telah menampakkan sibuknya, ayam yang bertugas sebagai alarm alam sudah kembali diam. Sementara matahari pagi ini sinarnya terhalang oleh awan mendung. Jalanan kampungku sudah lengang seperti menegaskan bahwa ini bukan kampung pengangguran yang setiap waktu ada saja kumpulan ngerumpi.

Aku kesiangan pagi ini, rencana ini itu telah menanti untuk diselesaikan dengan waktu yang sesingkat - singkatnya. Kalau perlu rencana hari selasa rabu dan kamis selesai hari senin. Dan itu hanya lamunanku ditengah kamar, aku tahu pekerjaan akan selalu datang bebarengn dengan hari yang bergantian.

Ah sialnya hari ini aku kelupaan kalau ada janji untuk menemuimu dikota yang kau sebut kota kita. Aku lihat layar ponselku ada panggilan tidak terjawab tiga kali darimu. Kau pasti ingat aku pernah berkata:  jika tiga kali tidak terangkat pasti aku sedang tidur atau dijalan. Sayangnya kali ini kau mengira aku sudah dalam perjalanan menujumu.

Kau menungguku berjam - jam, jarak yang aku tempuh bisa dua jam perjalanan, dan kau menungguku sejak telponmu tidak aku angkat. Lamunanku tentang pekerjaan menambah lama aku beranjak dari kasur, aku tahu kau akan menunggu dengan sabar, meski kau tak sabar ingin segera melepas rindu untuk mendapatkan berlipat - lipat rindu.

Aku datang dengan muka yang tegang, mengaku salah dan meminta maaf terlebih dulu adalah jalan satu - satunya mencairkan suasana. Kau nampak dingin, aku yakin karena keterlambatanku.

"Kau tak perlu meminta maaf, sejak tahu kau tidak mengangkat telponku, aku sudah lebih dulu memaafkanmu"

Begitu kau berkata setelah dengan serius aku meminta maaf. Namun bibirmu tetap nampak dikuncir kuda, tanpa senyum sedikitpun.

Aku mulai mencari cara agar kedinginan ini segera hangat. Segala kesukaanmu sudah aku buka, semua inginmu telah aku bawa. Kita masih saja pura - pura mendengar awan yang bergerak, menakar air yang telah kita tenggak.

Hari semakin sore, aku menunggumu memarahiku, hanya itu barangkali yang bisa melepas kesalmu.

Kau tidak berucap apa - apa cubitan keras yang kau berikan telah membuatmu sedikit lega.

"Aku sampe kering menunggumu, mas"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline