Lihat ke Halaman Asli

Jejak yang Tak Pernah Kembali

Diperbarui: 15 Oktober 2024   12:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Art: Painting by Mia Bergeron

Ada luka yang tak berbentuk, Ia yang lahir dari ketidakberartian kita di hadapan mereka yang kita agungkan dan kita hanya debu di lautan makna yang kita ciptakan sendiri. Saat kesadaran itu tiba, yang tertinggal hanyalah perasaan bodoh karena terlalu dalam mencintai, bahwa kita terlalu peduli.

"Seandainya aku tak peduli pada apapun," gumam hati yang lelah. Namun kenyataannya, kita peduli. Kita bahkan terlalu peduli. 

Dan terkadang, alasan kita bertahan pada sesuatu yang membuat kita menderita adalah karena itu satu-satunya hal membuat kita bahagia.

Kita hanya ingin, walau sekali saja, merasakan bagaimana rasanya tidak menjadi satu-satunya yang takut kehilangan. Menyedihkan, bukan? 

Menyadari bahwa mereka tak pernah melihat kita dengan cara yang sama seperti kita melihat mereka. Dan kita tetap mencintai mereka dengan sisa-sisa kepingan yang berserakan.

Lebih menyedihkan lagi, ketika seseorang yang dulu begitu akrab menjadi sekadar kenangan yang terasing. 

Tapi kita pantas mendapatkan apa yang layak kita terima, kita dapat merindu dan sembuh di saat yang bersamaan

Bagian tersulit adalah melepaskan mereka yang ada dalam hati kita. Dan lebih sulit lagi, menghapus kenangan yang pernah memberi makna. 

Dan akhirnya, kita mesti menerima kenyataan: beberapa orang bisa tetap tinggal di hati kita, tapi tidak dengan kehidupan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline