Kebenaran dalam karya fiksi seringkali membawa lebih banyak makna daripada kenyataan itu sendiri. Pada dunia fiksi, penulis memiliki kebebasan untuk menyampaikan berbagai aspek kehidupan dan kebenaran yang mungkin sulit diungkapkan dalam dunia nyata. Salah satu karya sastra Indonesia yang berhasil melakukan hal ini adalah novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Buya Hamka. Dalam novel ini, Buya Hamka tidak hanya menceritakan kisah cinta yang tragis tetapi juga memberikan kritik tajam terhadap budaya Minang yang kaku dan konservatif.
Kebenaran fiksional adalah konsep yang mengakui bahwa meskipun cerita dalam novel atau karya fiksi lainnya tidak benar-benar terjadi, mereka seringkali mencerminkan realitas sosial, psikologis, dan emosional yang dirasakan oleh individu dan masyarakat.
Dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Buya Hamka menggunakan kisah cinta antara Zainuddin dan Hayati sebagai alat untuk mengkritik struktur sosial dan budaya Minang yang sering kali mengekang individu dalam masyarakatnya.
Kisah Zainuddin, seorang pemuda berdarah campuran Minang-Bugis, dan Hayati, seorang gadis Minang tulen, menjadi cerminan dari ketegangan antara tradisi juga modernitas. Zainuddin yang tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat Minang karena darah campurannya, mencintai Hayati yang terikat oleh adat dan norma-norma yang ketat.
Ketika cinta mereka berakhir tragis, Buya Hamka menggambarkan betapa kuatnya cengkraman adat dan betapa merusaknya bagi individu yang tidak bisa memenuhi ekspektasi sosial tersebut.
Buya Hamka, menunjukkan betapa adat Minang pada waktu itu bisa menjadi penghalang bagi kebahagiaan individu. Contoh konkret dari ini adalah bagaimana Hayati merasa harus menikahi Aziz, seorang pria yang lebih diterima oleh masyarakat Minang, meskipun hatinya masih milik Zainuddin. Betapa nilai-nilai tradisional sering kali mendominasi dan mengabaikan keinginan serta kebahagiaan pribadi.
Kebenaran fiksional di sini bukanlah pada fakta bahwa Hayati dan Zainuddin adalah karakter fiksi, tetapi pada kenyataan bahwa banyak orang di dunia nyata mengalami konflik serupa antara cinta dan kewajiban sosial.
Kritik Buya Hamka terhadap budaya Minang juga terlihat dalam bagaimana ia menggambarkan peran dan posisi wanita dalam masyarakat. Hayati, meskipun kuat dan berpendirian, tetap harus tunduk pada keputusan keluarganya dan norma-norma adat.
Wanita sering kali tidak memiliki suara dalam menentukan nasib mereka sendiri. Novel ini tidak hanya sebuah kisah cinta tetapi juga sebuah kritik sosial yang kuat terhadap posisi wanita dalam budaya Minang pada masa itu.
Dalam konteks yang lebih luas, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dapat dilihat sebagai kritik terhadap kecenderungan masyarakat yang mengutamakan status sosial dan kehormatan keluarga di atas kebahagiaan individu.