Lihat ke Halaman Asli

SAJEN: Antara Peristiwa Budaya dan Agama

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Jare sopo nyumet menyan iku gak oleh, sing gak oleh iku nyumet ndasmu.”

-Cak Nun-

Suku Jawa adalah suku paling besar yang mendiami pulai Jawa dan yang merupakan moyangnya Indonesia. Mereka memiliki keunikan dan ‘kehebatan’ yang luar biasa jika dikaji dari beberpa sudut dengan adil dan bijaksana. Ambil saja satu contoh dari prilakunya dalam mengikhtiari sebuah peristiwa. Mereka sanggup mencapai suatu solusi untuk masalah yang dihadapinya dengan ilmunya yang terkenal ampuh itu, yakni ilmu otak-atik mathuk.

Akhir-akhir ini banyak sekali kabar yang berhembus bahwa konon nenek moyang Indonesia juga ternyata nenek moyang dunia. Buktinya, kata mereka, adalah banyak sekali peradaban yang ditemukan di Indonesia lebih tua ketimbang Yunani yang hingga kini dikenal sebagai pusat peradaban dunia. Mereka, moyang Indonesia, memiliki daya nalar yang luar biasa yang sanggup menembus dimensi di luar dimensi kemanusiaan. Otak-atik mathuk pun sebenarnya merupakan proyeksi dari kedalaman berpikir mereka terhadap peristiwa alam yang merupakan wujud dari sunnatullah itu. Mereka tak butuh referensi yang neko-neko karena cukup baginya Allah sebagai referensinya. Namun, mereka sukar dalam menyebut ‘Yang Dibalik Peristiwa’ tersebut dengan sebutan Allah.

Baik. Untuk menyebut Yang Maha Tinggi tak perlu harus dengan sebutan Allah. Dia, Yang Maha Bijak, pun telah membuat agreement yang menurut saya sangat bijak dan fair bagi manusia yaknibahwa manusia diperkenankan menyebut-Nya dengan sebutan lain yang baik sesuai dengan kehendak manusianya. Sungguh luar biasa bukan ke-Maha Bijaksanaan Tuhan? Dia berprilaku demikian karena Dia faham betul bahwa manusia memiliki potensi yang luar biasa jika dibandingkan dengan makhluk ciptaan-Nya yang lain. Mereka dikarunia otak yang sanggup digunakan untuk berpikir. Beda halnya dengan malaikat yang hanya tunduk patuh kepada perintah Allah swt tanpa bisa mengingkarinya.

Lantas, bagaimana dengan sajen?

Seperti yang saya kemukakan di awal paragraf tulisan saya ini bahwa manusia Jawa memiliki keunikan yang luar biasa jika dikaji dari beberapa sudut. Peristiwa sesajen pun juga termasuk peristiwa unik yang termasuk peristiwa budaya. Konotasi sesajen (dibeberapa tempat ada yang menyebutnya dengan sajen & sesaji) merupakan peristiwa dimana seseorang atau beberapa orang memberikan sesuatu, bisa berupa bunga, makanan, minuman, dll., dalam momen tertentu dengan harapan apa yang sedang dijalani baik olehnya, rekan kerjanya, anaknya, dan atau keluarganya, bisa berjalan dengan mulus. Peletakannya pun bisa bermacam-macam dengan formasi yang bermacam-macam dan latar belakang yang bermacam-macam pula. Contohnya saja seperti yang saya lihat barusan. Kronologisnya adalah diesel sumber listrik untuk acara pernikahan tiba-tiba mati, rusak dan perlu diservis. Spontan saja kru yang ada disitu meminta kepada si empu acara tersebut untuk dibikinkan sajen karena, katanya, dieselnya megap-megap kalau tidak diberikan sesaji.

Langsung saja tetanggaku yang menerima laporan tersebut bilang kepada orang pawonan untuk dibikinkan sesaji. Memang jika ada acara mantenan, sunatan, dan acara-acara geden lainnya tetanggaku tak pernah luput untuk bikin sesaji. Sesaji-sesaji itu biasanya diletakkan di pawon tempat orang masak, di bawah jembatan, di dekat diesel, di bawah salon, di bawah kwade, dan di tempat-tempat lain yang saya sendiri terkadang sulit untuk menemuinya.  Adapun tetanggaku yang satu ini, yang saat ini punya hajat mantu anaknya yang terakhir, terkenal khuysu’ dan anti hal-hal seperti itu. Maklum saja, orang ini dituakan di lingkunganku tinggal dan bahkan dikiaikan oleh beberapa orang. Wajar saja jika orang pawonan sungkan untuk bilang untuk bikin sajen yang padahal sudah sangat dimafhum sebagai bentuk akulturasi budaya. Alhasil diesel pembangkit listriknya mati dan tidak salah jika akhirnya orang-orang merepresentasikan dan merelasikan peristiwa tersebut dengan ketiadaaan dari sajen yang sangat biasa dibikin ketika ada acara seperti ini.

Geli juga saat saya dengan lekat-lekat memandangi dan nunggoni mereka benahi kerusakan kecil yang mengganggu kinerja diesel tersebut sembari mereka menggerutu yang kurang lebih bilang begini, “Mbah, putune nyambut gawe. Ojo diganggu ya!” Saya pun sebanarnya bingung kata mbah yang mereka sebut harus dialamatkan ke siapa. Tidak kebetulan juga, sebenarnya mbah yang sekarang halaman rumahnya ditempati diesel itu meninggal belum jangkep 40 hari. Masak mbah yang mereka maksud adalah itu? Tapi kayaknya saya seharusnya salah, karena kalau mbah itu yang dimaksud sangat tidak mungkin. Pasalnya, ia tak punya cukup keahlian untuk me-non-aktif-kan diesel. Jangankan diesel, wong pompa air pun tidak bisa. Buktinya selama hidup ia tak pernah punya inisiatif untuk bikin pompa air dan lebih memilih sumur kompan. Terus kepada siapa sebutan mbah itu direpresentasikan?

Di sini saya mulai berpikir, mencari-cari akar dari apa yang sedang saya hadapi sehingga menjadi suatu ilmu bagi saya sokor-sokor bagi orang lain pula. Begini, seharusnya dalam peristiwa seperti ini ada orang yang meluruskan. Masyarakat diajak bicara baik-baik dan tidak berkesan untuk menggurui atau mendoktrin karena sedungu-dungunya orang di desa saya, ngerti kalau Tuhannya adalah Allah Azza Wajalla. Lantas kenapa timbul budaya yang nyalahi agama? Siapa bilang sajen itu menyalahi. Kalau menurut saya, mereke sedang bergurau dengan Tuhannya. Berdosakah bergurau dengan Allah? Kurasa tidak. Karena gurauan sebenarnya wujud dari kemesraan hubungan mereka, makhluk dengan Kholiq. Hanya saja terkadang mereka butuh guideline agar tidak kebablasan yang berujung pada kemusyrikan (Na’udzubillahi mindzalik. Semoga kita terhidar dari sifat yang dilaknat itu.). Jadi harus ada pernyataan dan penjelasan tegas bahwa dibalik semua apa yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi adalah Allah. Boleh mereka menyebutnya mbah karena sebutan mbah di sini tidak mewakilkan mbah yang kasat mata sebagai makhluk tapi lebih kepada kekuatan yang tersembunyi yang memprakarsai segala peristiwa yang mungkin dan tidak mungkin terjadi.

Hal semacam ini yang menurut hemat saya perlu dicerahkan dan tidak hanya judgment-judgment yang justru tidak memberikan solusi sosial dan justru malah menimbukan gesekan dan pergeseran fungsi agama yang mendamaikan dan rohmatan lil’alamiin itu. Manusia saat ini adalah manusia berpikir. Jadi penjelasan-penjelasan yang tidak berkesan menggurui, menurut saya, akan dengan gampang mereka terima. Kita berdo’a saja semoga setiap dari kita mampu mencerahkan dan kedatangan kita memberikan sebuah solusi yang dibutuhkan masyarakat saat itu.

Salam Fastabiqul Khoirot!!!!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline