Lihat ke Halaman Asli

zuhaili zulfa

Mahasiswa. Pengajar.

Memperbaharui Niat Menuntut Ilmu

Diperbarui: 28 Januari 2024   20:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: AI (https://www.bing.com)

Menuntut ilmu itu seperti melakukan suatu perjalanan panjang. Tentu, setiap perjalanan ada tujuan yang hendak dicapai. Namun, setiap tujuan pasti ada rintangan (perhentian) yang harus dilalui.

Tujuan menuntut ilmu adalah memahami dan mengikuti apa yang difirmankan oleh Allah Swt. dan disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw., dalam arti kembali kepada Alquran dan Hadist.

Pada zaman Nabi Saw., para sahabat mudah memahami apa isi kandungan dua wahyu itu. Sebab kedua wahyu itu disampai dengan bahasa mereka yaitu bahasa Arab. Bahasa Arab sudah menjadi tabiat bagi mereka sehingga tidak diperlukan lagi ilmu-ilmu tentang bahasa Arab.

Setelah Islam didakwahkan ke seluruh dunia, Islam menemui ragam manusia dengan ras, bahasa, dan budayanya. Para dai menyampaikan isi Alquran dengan perilaku atau mereka menyesuaikan dengan bahasa setempat. Penyampaian dengan perilaku lebih mengena daripada dengan bahasa.

Membaurnya Islam dengan beragam manusia, sedikit demi sedikit bahasa Arab sebagai bahasa pengantar pada mulanya mulai terkontaminasi dengan bahasa daerah-daerah setempat. Sehingga banyak salah dalam pengucapan dan penulisan. Ini juga berdampak pada cara baca Alquran dan hadist, yang berdampak pula pada kesalahan dalam memahami isinya. Atas dasar latar belakang ini, para dai menyusunlah ilmu (kaidah) bahasa Arab sebagai patokan. Kaidah tersebut digunakan untuk menimbang apakah suatu kosa kata atau susunan kata termasuk bahasa Arab atau bukan.

Kemudian, setelah diketahui bahwa Alquran dan sunah adalah bahasa Arab, maka untuk memahami isi kandungannya, untuk kemudian disampaikan kepada khalayak, ini menjadi latar belakang lain atas kelahiran ilmu bahasa Arab. Kemudian, ilmu ini digunakan semacam perantara untuk memahami isi Alquran dan hadits. Kemudian, dipertegas lagi menjadi syarat wajib bagi siapapun yang ingin memahami Alquran dan hadist, yang apabila tidak dipelajari maka seseorang yang berkata tentang Alquran dan Hadits tidak dapat dibenarkan.

Perkembangan ilmu semakin maju. Ilmu bahasa Arab berkembang pula. Dikatakan bahwa Nahwu dan Sharaf pada mulanya satu yaitu "Ilmu Nahwu". Kemudian karena perbedaan objek kajian sudah lain, maka terpisahlah kedua ilmu itu, menjadi Nahwu dan Sharef. Pada dasarnya ilmu bahasa ini lahir hanya sebatas untuk memahami isi Alquran dan Hadist.

Sebagaimana penulis katakan di atas bahwa, menuntut ilmu laksana perjalanan yang ada banyak pemberhentian. Nah! Para penuntut ilmu muslim sebagian ada yang terlupa dan terlena dengan pemberhentian itu. Misal, ada sementara dari ulama ada yang sangat mumpuni dalam bidang ilmu bahasa Arab, namun tidak mumpuni dalam bidang ilmu lain, seperti, ilmu Alquran dan hadits. Ulama itu banyak menulis tentang ilmu bahasa dan membahasnya, namun tidak satu ayat pun dibicarakan atau diamalkan.

Ini berbanding terbalik dengan generasi salaf, di mana mereka selain mumpuni dalam bidang bahasa, mereka juga mumpuni dalam bidang Alquran dan hadist, baik karya mereka tuliskan atau mereka jadikan perilaku.

Sayyid Quthb menuliskan bahwa generasi Alquran adalah generasi yang unik, sebab mereka mempelajari Alquran dan hadist dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya bukan untuk berlomba-lomba menulis karya, namun mereka berlomba-lomba untuk memahami dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari dalam perilaku mulia mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline