Allah Swt. menciptakan bumi sebagai tempat manusia bertugas memakmurkannya. Diantara tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini adalah tugas-tugasnya melaksanakan perintah-perintah Allah, dan memakmurkan bumi serta memanfaatkan segala apa yang ada padanya. Allah Swt. berfirman:
(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Aku hendak menjadikan khalifah di bumi." Mereka berkata, "Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?" Dia berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. al-Baqarah [2]: 30)
Dalam melaksanakan tugasnya, yaitu memakmurkan dan memanfaatkan segala apa yang dikandung oleh bumi, manusia membutuhkan pengetahuan. Pengetahuan ini akan menuntun manusia dalam memakmurkan bumi sebaik-baiknya. Tanpa pengetahuan ini manusia tidak akan bisa mengatur dan memakmurkan bumi ini dengan baik dan tertata seperti yang kita lihat sekarang ini.
Pengetahuan manusia didapatkan dari kemampuan bernalarnya, yang merupakan salah satu anugerah terbesar Allah kepadanya. Kemampuan bernalar ini menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaannya. Manusia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang indah dan mana yang jelek. Secara terus-menerus manusia dipaksa harus mengambil pilihan: mana jalan yang benar dan mana yang salah, mana tindakan yang baik dan mana yang buruk, dan apa yang indah dan apa yang jelek. Dalam melakukan pilihan ini, manusia berpaling kepada pengetahuan. (Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), hlm.39)
Lantas, dari manakah manusia mendapatkan pengetahuan?
Pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, yaitu pengetahuan yang didasarkan pada rasio dan pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman.
Orang yang mendasarkan pengetahuannya pada rasio dikenal dengan seorang rasionalis yang mengembangkan paham yang dinamai dengan rasionalisme. Adapaun yang orang yang mendasarkan pengetahuannya pada pengalaman dikenal dengan seorang empiris yang mengembangkan paham empirisme.
Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia berusaha memikirkannya. Fungsi pikiran manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut yang kemudian menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui oleh manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip dan justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip lewat penalaran rasional itu dapat dimengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori dan prapengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran rasional. (Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), hlm.51)
Berbeda dengan kaum rasionalis, kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan melalui penalaran rasional yang abstrak, namun lewat pengalaman yang konkret. Gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris bersifat kongkret, dan dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera manusia. Gejala itu, jika ditelaah lebih lanjut, mempunyai beberapa karakteristik tertentu; terdapat pola yang teratur mengenai suatu kejadian tertentu.
Pengamatan yang dilakukan akan membuahkan pengetahuan mengenai berbagai gejala yang mengikuti pola-pola tertentu. Misalnya, suatu benda padat kalau dipanaskan akan memanjang. Langit mendung diikuti dengan turunnya hujan.
Di samping itu, kita melihat adanya karakteristik lain yakni adanya kesamaan dan pengulangan. Misalnya, bermacam-macam logam kalau dipanaskan akan memanjang. Hal ini memungkinkan kita untuk melakukan suatu generalisasi dari berbagai kasus yang telah terjadi. Dengan menggunakan metode induktif, dapat disusun pengetahuan yang berlaku secara umum lewat pengalaman terhadap gejala-gejala fisik yang bersifat individual. (Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), hlm.51-52)