Sebagian besar orang lebih sering mendewakan IQ (Intelligence Quotient) atau kecerdasan intelektual dan menganggap bahwa IQ akan sangat berpengaruh bagi kesuksesan seseorang di masa depan. Tidak perlu jauh-jauh, coba amati lingkungan sekitar. Orang-orang tersebut, khususnya di kalangan orang tua sering kali mengunggulkan nilai akademik anak mereka yang tergolong tinggi. Sehingga mereka melabelinya sebagai anak yang pintar dan cerdas. Fenomena tersebut memang wajar terjadi. Orang tua mana yang tidak bangga jika anaknya bisa meraih peringkat lima atau tiga besar di sekolah?
Namun, fakta menunjukkan bahwa EQ juga sangat dibutuhkan. Apalagi manusia merupakan makhluk sosial yang setiap harinya melakukan interaksi satu sama lain di ranah apa pun, seperti dalam hubungan pekerjaan, pertemanan, kekeluargaan, maupun asmara. Agar hubungan-hubungan tersebut dapat berjalan dengan baik, maka dibutuhkanlah EQ yang memadahi.
Apa itu EQ?
EQ (Emotional Quotient) atau kecerdasan emosi merupakan kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang berupa kemampuan dalam memahami, mengelola, serta menggunakan emosi secara efektif. Mengutip dari artikel Ruang Kerja, ada sebuah penelitian yang pernah memaparkan betapa jauhnya perbandingan antara peran IQ dan EQ. Bahkan sumbangsih dari IQ hanya sebesar 4% dalam menentukan keberhasilan di dunia kerja. Namun dengan presentase tersebut, bukan berarti IQ tidak dibutuhkan sama sekali. Kita dapat menganalisis sendiri bahwa EQ memang lebih utama dalam berbagai hal.
Seseorang dikatakan cerdas, tidak hanya bisa dilihat dari IQ saja. Keberadaan EQ juga sangat penting, karena akan mempengaruhi tindakan-tindakan manusia selama menjajaki fase-fase kehidupannya. Manusia tidak hidup sendirian. Dampak dari sikap yang manusia lakukan pun juga akan dirasakan oleh yang lainnya. Dengan pengelolaan emosi yang baik, maka mereka akan merasakan kehidupan yang lebih nyaman serta mampu membawa energi positif bagi sesamanya.
Mengapa EQ lebih penting dibandingkan IQ? Dari pertanyaan ini, kita bisa ambil salah satu contoh, andaikan seseorang memiliki nilai akademik bagus tapi tidak bisa menggunakan keterampilannya dengan baik karena adanya ketidakmampuan mengelola emosi, maka akan sia-sia. Sebab untuk meraih keberhasilan, selain memiliki kecakapan dalam berpikir dan merencanakan sesuatu, kecakapan bertindak juga tidak boleh dilupakan.
Sering juga kita temui, banyak pengusaha atau pekerja yang memiliki skor IQ rata-rata, justru mampu menduduki puncak karir. Mari kita berpikir logis. Jika mereka hanya mengandalkan IQ, kemungkinan keberhasilan tidak akan bisa diraih, karena mereka tidak ber-IQ tinggi. Mereka berhasil karena dapat mengelola EQ dengan baik. Sebaliknya, tidak jarang dari mereka yang ber-IQ tinggi sering menemui kegagalan disebabkan mental dan akal yang kurang sehat. Tidak bisa mengalahkan ego, takut melangkah, takut jika hasil tidak sesuai harapan adalah sebagian contoh kecil dari ketidakmampuan seseorang dalam mengendalikan emosi di dalam dirinya sendiri.
EQ tidak semata-mata hadir sejak kita lahir. Tidak seperti IQ yang hanya mengacu pada kecakapan matematika dan linguistik, aspek EQ atau kecerdasan emosi bersifat lebih luas, serta tentunya dapat dilatih seiring bertambahnya pengalaman hidup. Dalam bukunya yang berjudul "Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ" Daniel Goleman menuliskan 5 komponen yang dapat diasah untuk meningkatkan kecerdasan emosi, meliputi:
- Self awareness, kemampuan dalam mengenali emosi pribadi di berbagai situasi.
- Self regulation, kemampuan mengelola atau mengatur emosi diri sendiri.
- Self motivation, kemampuan memotivasi diri, memberikan dorongan dalam mencapai sesuatu yang diinginkan.
- Empathy, kemampuan memahami emosi orang-orang sekitar dalam bebagai sudut pandang.
- Social skill, keterampilan dalam membangun hubungan yang baik dengan orang lain.