Suara adzan ashar berkumandang di masjid pinggir jalan kabupaten Pamekasan. Dan kami masih dalam perjalanan dari Sumenep ke Batu Bintang, Pamekasan, ke rumah suami bibi ipar. Tujuan kami ke sana, adalah untuk bersilaturahmi karena bibi dan suaminya baru saja datang dari Tanah Suci: selesai melaksanakan umroh.
Kurang lebih sekitar 10 menit dari adzan ashar itu, akhirnya kami tiba di tempat tujuan. Kami diarahkan masuk ke langgar oleh salah satu pelayan untuk menemui suami bibi (Anom). Setelah selesai pelukan hangat sambil berjabat tangan dengan Anom, kami pun dipersilakan duduk.
Dan, di sinilah saya akan menceritakan culture shock yang saya alami.
Setelah duduk tak ada kopi maupun teh untuk tamu
Saya dan kakek duduk bersila di atas langgar, tepat di samping kanan Anom. Satu orang pelayan yang ada di atas langgar terlihat bangkit dari duduknya. Ia membawa talam (nampan) yang berisi air zam-zam berwadah gelas karet kecil dan satu toples berisi kurma untuk disuguhkan kepada kami. Satu orang, dapat satu buah kurma.
Bismillah. Air zam-zam itu sudah kami teguk. Kurma pun sudah kami kunyah, tentu saja tidak ditelan dengan bijinya.
Setelah itu, ya sudah. Tak ada kopi maupun teh sebagai minuman tambahan untuk rokok-an pasca meneguk air zam-zam. Saya sempat berpikir: mungkin kopinya masih ada di dapur. Ahha. Hingga kami pulang ternyata memang nggak ada kopi atau teh yang disuguhkan.
Tradisi itu jelas berbanding balik dengan di Sumenep. Setidaknya, seingat saya saat bertamu ke orang yang datang dari Tanah Suci, tak jarang pelayannya memberikan teh atau kopi setelah memberikan air zam-zam.
Di Batu Bintang, Pamekasan nggak ada. Setelah beberapa menit kami dikasih air zam-zam dan satu buah kurma, kami disuguhkan air gelasan yang 500 rupiah itu. Satu orang, dapat 2 air gelasan. Pikir saya, mungkin air itu sebagai ganti dari absennya kopi.
Ketika pulang, saya tanya ke ibu, "di sana tradisinya tamu memang nggak dapat kopi ya?"