Oleh: Trisno Mais, S.AP., MSI
POTRET perilaku ASN (Aparatur Sipil Negara) di Indonesia memang tragis. Kenapa? Belakangan ini, ASN sudah seperti juru kampanye (Jurkam). Padahal dilarang. Pegawai ASN itu harus bersikap netral pada penyelenggaraan pemilu dan tidak bisa ditawar lagi!
Regulasi terkait netralitas ASN sangat jelas dan tegas serta rinci dijelaskan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, beberapa surat edaran sebagai penegasan dari Komisi ASN, Menpan RB, Mendagri, BKN, dan Bawaslu RI. Secara eksplisit dijelaskan bahwa ASN dilarang memberi dukungan atau melakukan kegiatan yang mengarah pada politik praktis setiap kontestasi politik. ASN dituntut untuk tetap profesional dan tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.
Terkait argumentasi di atas, apabila terdapat ASN yang melakukan pelanggaran kode etik dan kode perilaku serta netralitas ASN pada penyelenggaraan pemilu, maka ASN akan dikenakan sanksi moral berupa pernyataan secara terbuka atau secara tertutup atau sanksi disiplin mulai ringan, sedang, sampai berat. Pengaturan sanksi ini diatur secara komprehensif dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 dalam Pasal 12 angka 6,7, dan 8 untuk sanksi disiplin sedang, dan Pasal 13 angka 11 dan 12 untuk sanksi disiplin berat.
Pada konteks ini, ada banyak variabel yang memungkinkan ASN terlibat dalam politik praktis. Dalam konteks pemilihan kepala daerah apalagi. Tentu tidak sedikit pula ASN yang diduga terlibat melanggar netralitas ASN. Tak tangung - tangun, malahan.
Pun, ironinya ada ASN yang nekat 'pasang badan' dalam kaitan memberikan dukungan politik serta terlibat aktif dalam kerja - kerja politik. Padahal, ASN jelas dibatasi dan seharusnya membatasi diri dalam kaitan kerja - kerja politik. ASN memang diberi kebebasan, namun bersyarat. Dalam artian, ASN punya hak pilih, namun dilarang terlibat aktif dalam kerja - kerja politik praktis. Lantas kenapa masih saja ada ASN yang 'pasang badan'? Itu fenomena klasik.
Kondisi ini juga tentu bisa mengindikasikan bahwa realitas perilaku ASN tidak se -ideal seperti yang diatur dalam regulasi terkait kepemiluan serta UU ASN. Nyatanya, ada banyak ASN yang harus berusan dengan tugas di luar kewenangan. Tentu pernyataan ini bukan tanpa dasar atau semacam argumen spekulasi. Faktanya, pada setiap kali hajatan pemilu, ASN tidak pernah absen dalam kasus dugaan pelanggaran undang - undang lainnya terkait netralitas ASN.
Ini warning bagi semua pihak. Artinya, untuk dapat mewujudkan keadlian pemilu dibutuhkan kerja - kerja bersama. Sebab mewujudkan cita - cita pemilu yang demokratis itu bukan semata tugas Bawaslu serta pegiat pemilu, ini tanggung jawab bersama dalam kaitan kerja kolektif antar stakeholder. Tujuannya jelas, agar hajatan pemilu kiranya mampu meminimalisir potensi dugaan pelanggaran netralitas ASN, serta keadilan pemilu dapat terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H