Fenomena yang terjadi di Indonesia terkait dengan perkawinan adalah mengenai tingginya angka pernikahan usia dini. Berdasarkan data UNICEF, dapat diketahui bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-8 sebagai negara yang memiliki tingkat angka pernikahan dini terbanyak di dunia, sedangkan di ASEAN (The Association of Southeast Asian Nations) Indonesia menduduki peringkat ke-2 sebagai negara dengan angka pernikahan dini terbanyak. Di Jawa Timur sendiri, khususnya di wilayah Lamongan, selama Januari hingga pertengahan November 2024, tercatat ada sebanyak 220 pasangan yang mengajukan dispensasi nikah atau pernikahan dini ke Pengadilan Agama Lamongan. Fenomena ini telah menjadi alarm darurat bagi generasi penerus bangsa. Perkawinan dini tidak hanya berdampak pada pemutusan akses anak pada pendidikan, tetapi juga meningkatkan risiko stunting, penelantaran anak, hingga kemiskinan antargenerasi.
Permasalahan mengenai perkawinan dini ini tentunya tidak muncul begitu saja. Terdapat berbagai faktor budaya dan tradisi yang sering menjadi penyebab utama. Di banyak daerah, anak perempuan masih dianggap beban keluarga atau "aset" yang harus segera dinikahkan. Selain itu, kurangnya akses pendidikan dan informasi tentang kesehatan reproduksi memperburuk situasi. Kemiskinan dan ketimpangan gender juga mendorong praktik ini terus terjadi, karena perempuan dianggap tidak memiliki kuasa atas keputusan dalam hidupnya.
Perkawinan dini tentunya membawa dampak serius di berbagai bidang kehidupan, mulai dari kehidupan sosial, ekonomi, hingga kesehatan pada anak. Perkawinan dini memaksa anak-anak, terutama perempuan, keluar dan berhenti sekolah. Mereka yang seharusnya belajar dan membangun masa depan dipaksa menjalani peran sebagai istri atau ibu di usia yang belum matang. Selain itu, anak-anak yang lahir dari perkawinan dini sering mengalami penelantaran karena orang tua yang belum siap secara finansial maupun emosional. Beban ekonomi keluarga semakin bertambah, menciptakan lingkaran kemiskinan yang sulit diputus. Perempuan yang menikah di usia dini juga memiliki risiko kesehatan yang tinggi, baik saat hamil maupun melahirkan. Bayi yang lahir dari ibu muda pun lebih rentan mengalami stunting akibat gizi buruk dan kurangnya pengetahuan ibu tentang pola asuh yang benar.
Langkah awal yang dapat diterapkan untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan pembentukan Satgas Pencegahan Perkawinan Usia Anak di tingkat desa atau kelurahan. Satgas ini dapat melibatkan tokoh masyarakat, guru, tokoh agama, dan pemuda untuk terjun langsung ke lapangan mengedukasi masyarakat tentang bahaya perkawinan dini. Hal ini tentunya perlu didukung oleh Pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat yang aktif mengadakan program edukasi yang menyasar anak-anak dan orang tua. Materi kampanye harus mencakup bahaya kesehatan, dampak sosial, dan pentingnya pendidikan bagi anak. Dengan pendekatan yang melibatkan budaya lokal, masyarakat diharapkan lebih mudah menerima pesan ini. Tidak hanya dengan edukasi, aparat penegak hukum juga harus bersikap tegas terhadap praktik dispensasi pernikahan yang seringkali disalahgunakan.
Perkawinan dini adalah ancaman nyata yang merusak masa depan generasi penerus bangsa Indonesia. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga oleh bangsa secara keseluruhan. Jika dibiarkan, perkawinan dini akan terus memperparah permasalahan sosial seperti kemiskinan, stunting, dan rendahnya kualitas pendidikan. Mari kita mulai dari diri kita sendiri. Edukasi lingkungan sekitar tentang bahaya perkawinan dini dan dukung upaya pencegahan di tingkat masyarakat. Dengan mencegah perkawinan dini, kita tidak hanya melindungi hak anak-anak, tetapi juga memastikan bahwa generasi penerus bangsa tumbuh menjadi individu yang sehat, cerdas dan berkualitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H