Lihat ke Halaman Asli

Aisyah Nawangsari Putri

Small town girl. Took the midnight train, going anywhere.

'Pembinaan Mental', Perlukah?

Diperbarui: 18 Juni 2015   07:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pemberitaan mengenai meninggalnya siswa SMAN 3 Jakarta yang diduga penyebabnya adalah penganiayaan yang dilakukan oleh senior membuat saya prihatin. Ini bukan pertama kalinya seorang junior meninggal di tangan seniornya. Hal serupa telah terjadi di berbagai instansi, khususnya sekolah tinggi dan universitas seperti STPDN dan ITN Malang.  Biasanya peristiwa ini terjadi karena para senior itu ingin memberi pembinaan mental pada junior. Tapi apakah benar mereka hanya ingin memberi pembinaan mental?

Pembinaan mental atau bimen dalam sebuah organisasi atau instansi merupakan sebuah tradisi. Saya setuju bahwa pembinaan mental ini penting untuk mengajarkan junior mengenai pentingnya kedisiplinan dan tanggung jawab. Saya juga sering mengikuti bimen sewaktu masih menjadi paskibra. Dibentak-bentak pernah, disuruh push-up, disuruh lari oleh senior saya juga pernah. Tapi itu semua karena saya dan teman-teman melakukan kesalahan sehingga wajar kalau kami menerima hukuman. Dengan begitu kami belajar bertanggung jawab.

Sayangnya seringkali, bimen ini disalah gunakan menjadi ajang untuk melakukan kekerasan. Junior tidak melakukan kesalahan apa-apa dibentak-bentak, disuruh ini, disuruh itu. Kalau tidak mau dibilang "kamu berani melawan?". Lebih parah lagi kalau senior sampai main tangan. Sewaktu saya menjadi senior di paskibra, saya diajarkan untuk tidak pernah melakukan kontak fisik dengan junior. Sebagai senior, kita juga harus menghargai junior kita, tidak boleh pegang-pegang sembarangan, apalagi sampai memukul.

Senior yang memperlakukan juniornya dengan kasar, biasanya pernah diperlakukan kasar saat dia masih menjadi junior. Karena itu, ia ingin juniornya merasakan apa yang pernah ia rasakan sebelumnya. Berbeda dengan senior yang memang dibina mentalnya ketika mereka menjadi junior. Mereka akan memperlakukan junior sebagai adik yang mereka didik supaya menjadi lebih disiplin dan bertanggung jawab.

Kasus siswa SMAN 3 Jakarta ini menjadi lebih miris ketika terjadi di kelompok pecinta alam. Menjadi seorang pecinta alam memang harus siap berada dalam medan yang keras dan kondisi yang sulit. Karena itu mereka perlu pembinaan mental yang ekstra. Tetapi jika bimen yang dilakukan oleh senior berubah menjadi ajang kekerasan, apakah bimen tersebut menjadi efektif? Dampak yang muncul adalah junior akan merasa takut pada senior. Padahal, senior dan junior semestinya menjadi satu tim yang saling mendukung satu sama lain.

Saya pernah melakukan pendakian gunung dengan adik-adik kelas saya. Senior harus mendampingi junior dan saling support satu sama lain. Seandainya sebelum mendaki gunung, saya dan teman-teman melakukan kekerasan pada junior kami. Kira-kira, pada saat pendakian gunung, apakah junior kami akan percaya pada kami? Saya rasa tidak. Bisa jadi saat mereka sakit di tengah perjalanan, mereka tidak berani duduk untuk beristirahat atau lapor kepada kami karena takut dimarahi. Ini bisa berakibat fatal.

Dengan adanya pembinaan mental, senior semestinya menyiapkan junior untuk siap melakukan pendakian atau aktivitas yang membutuhkan mental kuat lainnya. Bukannya membuat junior takut pada senior dan bersedia melakukan apa saja. Yang lebih disayangkan dari adanya bimen ini, acapkali senior melakukan kekerasan pada junior untuk balas dendam akan apa yang ia rasakan dulu sewaktu menjadi junior. Jika itu terjadi, maka penyalahgunaan bimen akan menjadi tradisi turun temurun di organisasi atau instansi tersebut.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline