Lihat ke Halaman Asli

Aisyah Nawangsari Putri

Small town girl. Took the midnight train, going anywhere.

Arti Sebuah Janji

Diperbarui: 4 April 2017   16:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa arti sebuah janji?

Sewaktu kecil, saya diajari kalau janji adalah hutang. Kalau saya berjanji akan menginap di rumah nenek hari Sabtu malam, berarti saya memang harus menghabiskan malam Minggu saya di rumah nenek. Sejak kecil, saya diajari kalau berjanji adalah hal yang berat. Tentu saja, karena janji adalah hutang. Karena itu, hingga sekarang, setiap kali mengucapkan janji, saya sudah memikirkan apakah saya mampu menepati janji itu atau tidak. Kalau kira-kira saya tidak mampu, saya akan berkata “nggak janji yaaa.”

Seiring bertambahnya umur, saya sering membuat janji dan banyak pula orang yang berjanji pada saya. Beberapa kali saya dikecewakan karena ada janji-janji yang ternyata tidak bisa ditepati. Tapi karena kejadiannya hanya sekali-kali, saya merasa itu bukan masalah besar. Baru beberapa bulan lalu saya me-review lagi apa definisi sebuah janji ketika ada seseorang yang terlalu sering melanggar janji sehingga saya muak.

Menurut kamus bahasa Indonesia karya Windy Novia S.pd (saya tidak punya KBBI), Janji adalah kesediaan dan kesanggupan yang diucapkan. Tapi, janji menurut definisi abal-abal versi saya adalah ikatan antara aku, kamu, kita mengenai perbuatan kita di waktu tertentu dan tempat tertentu. Saya sebut mengikat karena dalam sebuah perjanjian akan selalu ada pihak pertama, pihak kedua, dan seterusnya.

“Ke depannya aku akan begini…”

“Besok aku akan begini…”

“Minggu depan aku akan mengajakmu ke taman.”

“Nanti malam aku akan membuatkanmu nasi goreng.”

“Jika aku mendapat rejeki nomplok, aku akan membeli mobil.”

“Mulai saat ini, aku akan lebih banyak beribadah, Tuhan.”

Bahkan, janji pada diri sendiri bersifat mengikat karena diri kita sendiri merupakan pihak pertama dan pihak kedua dalam perjanjian tersebut. Bagaimanapun janji bersifat mengikat. Ya, janji memang sesakral itu. Bukan hanya perjanjian antara perusahaan dan karyawan saya yang mengikat. Perjanjian antara pribadi satu dengan yang lain juga mengikat. Perbedaannya adalah tidak ada perjanjian hitam di atas putih, tidak ada meterai, tidak ada tanda tangan. Hanya saling percaya saja.

Karena itu, berjanji itu bisa dijadikan tolok ukur seberapa besar kita bisa mempercayai orang itu. Jika orang tersebut selalu menepati janji, maka orang itu bisa dipercaya dan bisa diandalkan. Jika orang tersebut kadang menepati kadang mengingkari, berarti sebisa mungkin jangan mengandalkan dia. Percaya boleh, tapi jangan mengandalkan. Sementara orang yang selalu mengingkari janji, buang saja ke laut. Jangan mempercayai dia, daripada sakit hati.

Saya pernah memaafkan orang yang melanggar janjinya berkali-kali. Berkali-kali pula saya berkata pada diri saya sendiri kalau manusia itu ada batasnya, nggak mungkin selalu menepati janji, pasti ada saat-saat manusia kesusahan menepati janji. Toh, saya sendiri juga pernah tidak menepati janji karena ketidakmampuan saya dalam menepatinya. Saya juga pernah menarik kembali janji saya karena ternyata janji saya bisa berimbas buruk pada orang yang saya janjikan itu.

Suatu kali, seperti yang saya sebutkan di atas, saya mulai muak ketika orang itu berjanji akan bertemu saya dan kenalan saya yang lain. Saya mau mereka saling kenal. Ketika saya dan kenalan saya sudah di tempat yang dijanjikan, tiba-tiba dia menelepon, berkata kalau tidak bisa datang karena ada perlu mendadak. Saya paksa dia untuk datang, nggak enak sama kenalan saya. Eh, dia malah jawab “Aduh, aku benar-benar nggak bisa datang. Aku sudah janji sama temanku.” Karena emosi, langsung saja saya balas, “Terus yang sama aku ini namanya bukan janji?”

Sejak itulah saya mereview kembali apa arti sebuah janji. Bodohnya lagi, setelah peristiwa itu dia berjanji lagi, dan saya mempercayainya. Eh, ketipu lagi deh. Ya sudahlah, mulai sekarang saya tidak mau percaya apa pun yang dibilang sama orang itu. Mau janji-janji sampai mulut berbusa silahkan, saya akan tutup telinga saya, daripada sakit hati.

Janji bagi saya memang sakral karena sejak kecil saya diajari kalau janji adalah hutang, harus dilunasi bagaimanapun caranya. Sebelum janji itu lunas, kita masih terikat pada orang yang kita beri janji. Bagaimana arti janji menurut para kompasianers?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline