Lihat ke Halaman Asli

Aisyah Nawangsari Putri

Small town girl. Took the midnight train, going anywhere.

Cita-citaku vs Realita

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saat kecil, orang tua dan orang-orang di sekitar kita pasti bertanya “Kamu kalau sudah besar mau jadi apa?” Jawaban yang diberikan bermacam-macam. Ada yang mau jadi guru, dokter, pilot, presiden, penyanyi, dan lain-lain. Tapi di saat beranjak dewasa, kita mulai berpikir rasional “mungkin nggak yaa cita-cita itu tercapai?” atau “Aduh, ternyata susah juga yaa kalau mau jadi pramugari” dan sebagainya. Sehingga akhirnya kita tidak bermimpi muluk-muluk, yang penting lulus kuliah dan kemudian mendapat pekerjaan di perusahaan besar yang mampu member kita gaji cukup dan pesangon untuk pensiun.

Di saat musim tes CPNS, kita berbondong-bondong mendaftar. Kalau dipikir-pikir, menjadi pegawai negeri akan lebih menjamin kehidupan kita nantinya dibanding bekerja di perusahaan. Selain budaya korporat yang lebih longgar, tidak pusing dengan persaingan antar perusahaan, hampir tidak mungkin ada pemecatan, tidak perlu takut tepat kerja kita akan tutup.

Beberapa orang menyerah pada mimpinya setelah melihat kenyataan yang begitu kejam. Mereka meletakkan gitar mereka dan mulai latihan mengerjakan psikotes untuk menjadi pegawai negeri. “Memangnya kamu dapat uang berapa kalau kerjamu cuma main gitar? Jangan terlalu idealis! Jadi PNS sajalah biar hidupmu enak!” begitulah biasanya para orang tua jika menasihati anaknya. Padahal sewaktu anaknya kecil, mereka senyum-senyum saja sewaktu si anak bilang “aku mau jadi anak band!”

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Beberapa Negara Asia (setahu saya Jepang dan Korea) juga memiliki fenomena yang sama. Anak-anak muda yang baru lulus kuliah (bahkan baru lulus SMA) sudah mulai bimbang. Mereka harus memilih antara berusaha mewujudkan cita-cita mereka atau menghadapi kenyataan dengan belajar mengerjakan psikotes dan menambah wawasan umum.

Jika di Asia, para muda-mudi galau dengan karir yang akan mereka tempuh, maka tidak demikian di Eropa. Di Belgia, profesi sebagai PNS ternyata bukanlah primadona. Mereka tidak terpaku pada doktrin yang mengatakan bahwa jika ingin sejahtera, jadilah PNS atau pegawai di perusahaan terkemuka. Mereka dengan bebas memilih karir mereka sebagai guru atau karir lainnya. Hal ini disebabkan mereka tidak ingin kerja di satu tempat selamanya.

Di Prancis, orang bekerja untuk mendapatkan uang yang bisa mereka gunakan untuk bertamasya. Mereka tidak pusing dengan peraturan cuti karena begitu mereka siap berpetualang, mereka akan resign dari tempat kerja mereka. Setelah puas berpetualang, mereka akan mulai mencari pekerjaan lagi. Sesuatu yang sangat sulit dilakukan di Indonesia.

Sementara di Venesia, pekerjaan yang paling popular bukanlah PNS atau pemilik restoran, melainkan gondoliers. Pengayuh gondola yang membawa turis-turis melintasi jalanan Venesia sambil menyanyikan lagu-lagu. Biasanya profesi ini turun temurun dan tentu saja menjanjikan pendapatan yang luar biasa.

Di Inggris, karir yang diinginkan oleh anak muda juga bervariasi. Namun saat ini, Inggris banyak membutuhkan orang yang bisa pertukangan seperti tukang ledeng, tukang AC, tukang listrik, dan semacamnya. Orang dengan pekerjaan tersebut sangat dihormati dan benar-benar dibutuhkan di sana. Mereka pun dibayar dengan harga tinggi. Berbeda dengan di Indonesia yang membayar mereka dengan biaya seadanya saja.

Yang saya lihat, Asia dan Eropa memiliki cara yang berbeda dalam mendidik siswa. Di Asia, murid SD diharuskan belajar dengan rajin supaya mendapat nilai tinggi, dengan nilai tinggi maka mereka bisa masuk ke SMP favorit, kemudian masuk SMA favorit, dan kemudian Universitas favorit. Jika masuk Universitas favorit, maka anak akan dengan mudah mendapat pekerjaan di perusahaan terkemuka dan memiliki gaji tinggi. Padahal jujur saja, gaji tinggi tidak bisa menjamin kebahagiaan seseorang.

Sementara di Eropa mereka tidak terlalu pusing dengan kata-kata ‘favorit’, mereka juga tidak mau repot-repot me-ranking sekolah dan universitas di sana. Semua sekolah kedudukannya sama, tidak ada yang lebih bagus. Setahu saya sih, setiap universitas punya kelebihan masing-masing yang dijadikan pertimbangan oleh calon mahasiswa. Misal, jika ingin masuk kedokteran, universitas A dan B bisa jadi kandidat yang oke, tapi kalau ingin masuk fakultas hukum, universitas C lebih baik.

Melihat ini jujur saja saya jadi ingin pindah ke Eropa. Saya sudah belajar bahasa Prancis, should I move to France? Hahaha

Semakin tahun persaingan masuk ke perusahaan terkemuka dan menjadi PNS semakin gila-gilaan. Saya sih nggak ingin ikut-ikutan, tapi kalau lihat teman-teman saya, jujur saya kasihan. Semoga ke depannya kita bisa lebih bebas meraih cita-cita kita tanpa dibayang-bayangi ‘Lihat kenyataan!’ dan doktrin-doktrin yang mengatakan untuk hidup sejahtera kita harus jadi PNS atau pegawai di perusahaan besar.

*catatan: saya belum pernah ke eropa/korea dan mengamati keadaan social di sana. Saya hanya mendengar dari media mengenai pekerjaan yang umum di lakukan di eropa dan korea. Mungkin kompasianer yang tinggal di eropa dan korea bisa menambahi/mengkoreksi. Terima kasih J

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline