Lihat ke Halaman Asli

Antara Karya Seni dan Pornografi

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

webneel.com

[caption id="" align="alignleft" width="276" caption="webneel.com"][/caption] Polemik mengenai apa yang disebut foto porno atau foto seni, sepertinya memang tidak akan tuntas disimpulkan untuk memuaskan semua pihak. Apalagi untuk dicari defenisinya secara tegas. Kendati demikian, sebetulnya Departemen Penerangan (Deppen) dahulu pernah memberi batasan yang pasti diketahui seluruh pemimpin redaksi media massa. Dalam aturan itu disebutkan, batasan pornografi pada gambar atau foto terletak pada ditampilkan tidaknya kemaluan, buah dada, serta pusar seseorang. Namun selain tidak konsisten dijalankan (misal : gambar seseorang yang terlihat pusarnya sudah sering kita lihat di berbagai media), oleh banyak kalangan batasan ini justru dipandang absurd dan cendrung melecehkan kesenian. Ukuran untuk mengatakan suatu gambar porno atau artistik, sangat subjektif. Hal ini sangat berkaitan dengan persepsi masyarakat tentang tubuh. Misalnya jika kita memotret seseorang yang badannya, katakanlah dianggap tidak indah bagi kebanyakan masyarakat sekarang, yakni tubuh yang gemuk, kemungkinan tidak menimbulkan berahi bagi yang melihat. " Apakah ini porno atau tidak? mungkin bukan pornografi kalau ukurannya apakah mengundang berahi atau semacamnya, tapi persoalannya ia kan telanjang?" seorang laki-laki atau perempuan gendut berdiri telanjang, bagi masyarakat kita dipersepsi sebagai sesuatu yang tidak menarik, bahkan mungkin menjijikkan. sementara bisa juga seorang wanita berbaju lengkap justru menimbulkan rangsangan. Jadi ukuran-ukuran itu sangat relatif. http://adf.ly/ZUCkm




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline