Lihat ke Halaman Asli

Dimana Hatiku?

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1336668451785441376

[caption id="attachment_180618" align="aligncenter" width="382" caption="(Truk Besi Tua) bennythegreat.wordpress.com"][/caption]

“Tratang……tang…..tang……tang.” Bunyi jatuhan besi-besi tua yang dilemparkan itu dari atas truk pengangkutnya di jalanan. Bukankah jalanan itu ramai? Betul, sangat ramai bahkan. Apa gak ada yang tertimpa lemparan besi-besiitu? Tidak, yang hampir tertimpa banyakkkk.

***

Alangkah lucunya negeri ini, kata seorang sutradara dalam sebuah judul filmnya. Film Indonesia yang benar-benar mencerminkan keadaan negeri kita. Tapi itu belum seberapa, masih banyak yang terlewatkan di film itu.

Misalnya aku, aku memiliki seragam kebanggaan, profesiku sangat disegani dan ditakuti hampir semua orang, kadang aku di jalanan dan kadang aku di kantoran. Aku ada dimana-mana dan pekerjaanku selayaknya adalah melindungi masyarakat dari segala bentuk ketidakadilan yang terjadi terhadap mereka.

Macet adalah teman akrabku. Dimana ada kemacetan, disitu (seharusnya) ada aku. Tapi tidak buatku, aku benci kemacetan, aku capek berdiri soalnya. Lebih baik aku bermain Handy Talkidengan teman-temanku. Ngobrol tentang apa saja.

***

Hari ini jalanan macet sekali, mulai dari motor hingga truk puluhan roda hampir tidak bergerak di jalan ini. Aku seperti biasa asyik dengan HT-ku, sesekali kulambaikan tanganku untuk menstop dan mempersilakan kendaraan berlewatan.

“Tratang……tang…..tang……tang.” Tiba-tiba terdengar bunyi besi berjatuhan di jalanan ramai itu. Aku mendengarnya dengan jelas, tapi aku sudah tidak heran lagi. Itu pasti ulah gerombolan anak jalananan yang nekat menaiki truk pengangkut besi-besi itu. Sebagian naik ke atas truk berjalan itu dan sebagian lain menunggu di bawah dan memunguti hasil rampasan perang mereka. Ya, mereka berperang dengan bertaruhkan nyawa. Sedikit saja terpeleset ketika menaiki truk itu, nyawa mereka pun menjadi bayarannya.

Benar saja itu ulah gerombolan itu. Besi-besi yang beratnya bahkan puluhan kilogram itu dilemparkan begitu saja ke bawah alias di jalan itu, teman-teman mereka pun akan memungutinya.

Apa yang terjadi? Kemacetan semakin parah, pasti, kendaraan yang berjalan di samping atau di belakang truk itu terpaksa berhenti untuk menghindari lemparan maut itu. Siapa pula yang mau kendaraannya rusak akibat lemparan besi-besi itu atau siapa pula yang mau bertarung nyawa jika tertimpa material berat itu. Walaupun masih ada yang nekat melewatinya.

Orang-orang yang melihat kejadian itu sudah bersumpah serapah. “Kenapa pria-pria berseragam keren itu hanya diam saja?” itulah mungkin yang ada di benak mereka ketika melihat aku yang masih sibuk dengan HT-ku.

Aku sendiri pun tidak mengerti apa yang harus kulakukan. Bukan, aku hanya tidak ingin ikut campur dengan urusan mereka, mungkin itu saja.

“Bukankah Anda seorang pelayan masyarakat?”

“ Ya hanya jika ada laporan. Ya Tuhan, aku hanya bertindak jika hanya ada laporan? Bukankah itu sudah merupakan laporan lengkap yang harus diselesaikan saat itu juga? Ada pelaku, ada kejadian, banyak saksi, dsb. Aku dan teman-temanku harusnya bertindak langsung disitu, menangkapai gerombolan itu, dan membawa mereka ke kantor kami. Tapi, kini aku masih menunggu laporan?”

***

Sungguh makin jauh rasanya diri ini dari yang seharusnya. Korban pencopetan di jalanan harus lapor juga jika ia dicopet di depanku. Pernah aku mengatakan hal demikian kepada salah seorang korban pencopetan di depanku. “Harusnya Ibu melapor.” Astaga,,,, bukankah itu sudah laporan yang sangat lengkap yang tak diragukan lagi kebenarannya?

***

Truk pun berlalu begitu saja dari depanku dengan gerombolan itu masih dengan gasaknya mengambil apa yang bisa mereka ambil darinya sebelum truk itu masuk ke jalan tol. Tidak ada yang menghalangi, mungkin karena jumlah mereka yang sangat banyak sehingga orang-orang juga malas berurusan dengan mereka. Sedangkan aku merasa tidak terjadi apa-apa. O iya, aku baru ingat mereka itu adalah bajing loncat perkotaan. Hmmm….

“Syukurlah jalan sedikit agak lancar,” Tiba-tiba terucap dari mulutku, tidak, ternyata dari hatiku yang sedang mati.

***

*Oh Tuhan, izinkan (hati) ini tetap hidup, hidup layaknya manusia yang lebih peduli, yang lebih mengerti akan hidup ini, akan tugas yang diemban ini, izinkan pula hambaMu ini untuk ikut andil dalam memperbaiki situasi dan keadaan negeri ini (Doa penulis).

#Aku = Oknum

*Kejadian di jalanan Tj.Priok

*23.50

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline