Lihat ke Halaman Asli

Bukan Mata Merah Biasa

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13351973501199240120

Kuputuskan untuk pulang hari ini juga. Hanya untuk mengunjunginya, tanpa perasaan ingin berlama-lama disana. Setelah mengalami mimpi yang bersambung-sambung ditambah desakan bapak dan ibu agar aku pulang dulu. Masalah nanti mau balik kesini silakan kata mereka.

Aku tidak menyangka aku setega ini, meninggalkan sosok itu sendirian, bertahun-tahun tak kukirimkan kabar. Tak juga mencari kabar tentang dirinya.

- - -

Aku terlalu menyalahkan diriku sendiri waktu itu, padahal hanya hal sepele. Sangat sepele. Bahkan anak kecil sekali pun tahu itu hal sepele. Bagaimana tidak, aku “diusir” dari rumah ketika aku disuruh melanjutkan sekolah ke SMP umum dekat rumah hanya karena ingin sekolah di pesantren atau setidaknya MTs . Akhirnya aku lebih memilih tidak sekolah dan meninggalkan rumah daripada sekolah di sekolah umum itu. Aku pun meninggalkan ayahku. Tanpa berpikir panjang layaknya anak remaja yang sok dewasa yang belum tahu apa-apa sesungguhnya, kutinggalkan ia sendiri dengan niat merantau seperti teman-temanku yang lain. Ayahku kini tinggal sendiri setelah sebelumnya emak dan adikku meninggalkan kami menuju Sang Pencipta beberapa tahun lalu. Ya, kami tidak begitu lama merasakan indahnya keluarga yang utuh. Emak dan adikku meninggal karena penyakit yang sama, tapi entah penyakit apa.

“Assalamu ‘alaykum” sambil mengetuk pintu setibanya di rumah itu. Tidak ada jawaban, aku hanya menunggu di teras rumah. Tetangga yang melihatku pun datang menyalamiku dan memberi kabar bahwa ayahku biasanya menunggu Isya di masjid. Aku pun terkejut. Bagaimana ayah menunggu sholat di masjid padahal selama ini sholatnya jarang di masjid. Aku pun memutuskan menunggu saja karena sebelumnya aku sudah sholat Maghrib. Aku yang menunggu bersama beberapa tetangga yang mendatangiku asyik mengobrol dan saling tanya tentang enam tahun belakangan ini. Mereka dulu memang tahunya aku hanya merantau seperti kebanyak remaja lainnya.

Azan pun berkumandang, aku memutuskan untuk sholat di masjid. Setelah berwudhu, ternyata aku sudah terlambat satu rokaat. Aku langsung memasuki shaf ke empat. Lumayan banyak juga yang sholat berjamaah ini pikirku. Sebentar mencari-cari sosok bertubuh tegap itu, tidak kelihatan. Aku pun bertakbir. Sang imam dengan syahdunya melafalkan syurah An-Naziat di beberapa ayat terakhir. “subhanalloh” pikiranku mulai tidak khusyuk mendengar lantunan itu. Bukan lantunannya, tapi suara yang berat itu. Itu kedengarannya suara ayahku. Benar saja. Setelah selesai sholat dan dzikir, para jamaah keluar satu per satu. Hampir semua melihat ke arahku waktu itu. Aku hanya bisa membalas tatapan mereka dengan senyuman kecil. Lima jamaah lainnya beranjak berdiri, ayahku salah satunya. Aku pun ikut berdiri tapi bukan menuju pintu keluar melainkan berjalan ke arah mereka. Tanpa kuduga air mataku pun meleleh, aku merangkul sosok yang sempat kulupakan bertahun-tahunitu. Ayah sekarang berkaca mata. Kucium tangannya serta komat-kamit mengucapkan maaf. Padahal tadinya aku hanya ingin mengetahui keadaannya saja, tanpa harus menangis segala.

“Sudah pulang kau nak”, hanya itu kata-katanya di masjid itu sambil berjalan keluar. Teman-teman ayah yang lain sudah duluan meninggalkan kami setelah kusalami satu-satu. Aku hanya mengangguk tanpa kata-kata. Secengeng inikah aku? pikirku dalam hati. Bukan. Itu bukan cengeng, itu memang pantas, hatiku kembali berontak. Malam itu tidak ada yang istimewa, aku masih merasa canggung dengan ayahku sendiri. Sedangkan ayahku belum banyak bertanya. Hening. Kami pun istirahat.

Keesokannya ayah membangunkanku ketika hendak ke masjid, padahal masih sekitar 15 menit lagi untuk waktu shubuh. Aku pun bangun dan mengikutinya. Belum ada percakapan, layaknya dua orang yang baru saja kenalan. Aku tidak terlalu menghiraukannya. Toh aku masih butuh waktu beberapa saat untuk bisa menjaga agar tidak menangis ketika berbicara kepadanya. Semalaman aku terus menangis ketika terjaga, terutama ketika melihat ayahku sholat di malam itu. Betapa durhakanya aku meninggalkannya sendiri disini.

Aku masih duduk-duduk di teras rumah, melihat kampungku yang banyak berubah. Melihat orang yang lalu-lalang hendak beraktivitas dan sesekali menyapa mereka. Kembali melamun.

“Nak, ayo kita sarapan dulu. Ayah sudah menyiapkannya tadi pagi sebelum shubuh” lagi-lagi aku dipanggil dengan panggilan “Nak”, bukan “Adib”, namaku. Aku pun mengikutinya. Sehabis sarapan itulah kami mulai mengobrol. Benar saja, aku belum siap untuk tidak menangis ketika mau mengucapkan setiap kata. Tapi tidak bagi ayah, ucapannya tenang, matanya ikut tersenyum merekah, memerah. Bukan. Memang merah. Tapi bukan semerah darah, melainkan memerah penuh pesona. Berwibawa. Kusimpulkan langsung bahwa kaca mata itu hanya penutup mata merah itu, merah karena sering kurang tidur demi bermesraan dengan Tuhannya, merah seolah memancarkan cahaya. Tatapannya sayu. Membuat semua orang senang melihatnya. Subhanalloh.

Betapa besar perubahan yang terjadi kepada ayahku. Tidak ada maki-makian terhadapku, tidak ada pembahasan siapa yang salah siapa yang benar. Tidak ada yang mengungkap kejadian itu. Kami sudah saling memaafkan.

“Tidak ada yang perlu disesali dalam hidup ini, kita hanya butuh hikmah dalam setiap perbuatan itu. Mungkin kalau Adib tidak meninggalkan ayah dulu, ayah belum tentu bisa seperti ini. Iya kan?” sambil tersenyum ringan ayah menjelaskan satu-persatu. Aku hanya bisa menangis, lagi-lagi menangis. Ayah bahkan memberikan kebebasan kepadaku untuk tinggal di rumah Ibu Amir di Jakarta. Yang selama ini sudah kuanggap sebagai bapak dan ibuku kedua, orang yang mengasuh dan membimbingku hingga akhirnya bisa lulus sampai Aliyah.

“Mungkin 6 tahun ini hanya latihan buat ayah untuk tinggal sendiri. Sebelum ayah benar-benar sendiri di alam sana nanti. Disini masih ada tetangga-tetangga yang saling peduli. Disana? Siapa yang mau menemani ayah?” terdiam sejenak. “ Silakan lanjutkan sekolahmu disana, untuk biayanya nanti biar ayah yang mengirimkannya tiap bulan. Yang penting jangan lupa ibadah dan doanya ditingkatkan. O iya, kirimkan salam dari ayah buat Pak Amir dan Bu Amir ya!” sambung ayah. Ternyata dengan doa-doa ayahlah hatiku terbuka untuk pulang. Ayah mengakui baru mendoakanku agar aku pulang baru sebulan terakhir ini, persis dengan mimpi-mimpi yang menghampiriku. Sungguh mujarrobnya doa orang tua itu. Aku masih saja menunduk, menangis, dan menyesali yang selama ini. Tapi lebih bersyukur dengan yang sekarang ini. Melihat wajah wibawa Pak Amir sangat meneduhkan jiwa, tapi sorotan mata merah ayah yang sekarang melebihi segalanya.

“Tidak yah, aku ingin disini saja bersama ayah. Aku tidak mau meniggalkan ayah lagi sendiri disini. Seandainya mau meneruskan sekolahku, biarkan aku sekolah disini. Nanti aku akan sampaikan hal ini ke Ibu dan Bapak disana sekalian mengambil sedikit barang-barangku disana”

“Tapi bukankah disana pendidikannya lebih bagus?” "Benar ayah, hanya saja jika bersama ayah apapun itu pasti akan lebih bagus lagi." Mencoba tersenyum. "Sehebat/Selemah apapun dia, dia tetaplah ayah kita. Jangan sakiti ia. Doakanlah ia. Jangan sampai kita menjadi anak yang durhaka. Ingat jangan sampai kita didoakan jelek olehnya"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline