Lihat ke Halaman Asli

[FS] Monolog: Permainan yang Sama

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13786561531045661532

Sebut saja aku badung. Masih menggarai darah muda yang memberi minum setiap nadi dan binal terhadap setiap belenggu kebebasan. Aku menanam dan memupuk sisa-sisa rasa bosan terhadap setiap sistem. Itulah yang membuatku mendewakan kenikmatan. Menjadi hedonis yang tak pernah tidur tanpa rasa pedih yang mengiris setiap kali mata yang berat menuntut jawaban tanya yang selalu berulang–sampai kapan? atau, adakah jalan pulang? **

Itu adalah cerita dua tahun lalu. Terakhir yang kuingat, cerita itu berakhir waktu kepalaku terhantam botol dan terkapar di trotoar. Laki-laki yang wanitanya lebih memilih boncengan sepeda motorku daripada moge si pacar yang ternyata anggota gemot, bersama dengan teman-temannya, melepaskan tenaga yang berlebih di sekujur tubuhku. Sebelum semua gelap, amis darah adalah aroma terakhir yang mencumbui lubang hidungku.

Boleh! Boleh saja kau–seperti beberapa temanku yang lari waktu pengeroyokan itu–berkata bahwa itu adalah hari yang malang. Tapi tidak buatku. Tidak, karena jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menggelantung di mataku sebelum mengatup dan tertidur setiap malam akhirnya terjawab.

Dia adalah sosok pertama yang terlihat setelah mataku terbuka pagi itu. Sosok dengan jaket bertopi yang awalnya kukira laki-laki, setelah sekilas menatap dari punggungnya yang bidang. Ternyata perempuan, sedikit gemuk–dari betis sampai ke dada, paras lumayan, dan senyum yang ramah. Dialah yang membawaku ke bangsal rumah sakit dengan sepeda motor bututnya, entah dengan cara apa. Perempuan gagah, bukan?

Sebagaimana hari berawal, rasa dan jalinan itu membentuk simpul sendiri tanpa diminta. Dua bulan setelah kejadian itu, cincin stainless putih kulingkarkan di jari manisnya. Sebagai tanda pengikat rasa yang semakin membuncah. Kami memutuskan menjadi sepasang kekasih. Bukan, bukan karena dia cantik atau karena aku tampan, bukan karena kami memiliki kesamaan yang berlebih untuk dijadikan acuan, dan bukan pula karena bibirnya yang rajin menutup mulutku ketika hujat yang berhulu dari otakku ingin meloncat dengan liar di jalanan macet.

Pengertian dua arah! Itulah tampuk terbalik yang menjadi akar semua perjalanan kisah kami. Dia mengerti ada celah kosong dalam rongga rasaku, kebinalan masa mudaku, dan perlahan mengajariku untuk memandang hidup dari sudut yang berbeda. Dan aku mengerti di balik bidang punggung itu, di balik gagahnya yang selalu mampu memanjakanku–ada kerapuhan seperti retakan-retakan kayu lapuk yang harus kuikat. Aku melakukannya. Bukan hanya mengikat, tetapi juga kulapisi dengan pernis berwarna perhatian yang tidak pernah dia terima sebelumnya.

Berpuluh purnama telah berlalu, dan kami sudah luruh menjadi petikan melodi dan lagu yang bersenandung sendu dalam setiap gerak tari. Saat dia rebah di sampingku dalam ruang pendar cahaya yang seperti kunang-kunang. Kami menjadi sepasang purba di taman yang kami bangun sendiri. Seperti kekanak yang lari berkejaran di pemandian dan berebutan selendang penutup terakhir, atau bergumul seperti pegulat profesional yang saling mengunci gerak lawan. Sampai salah satunya berteriak menang setelah lawan melenguh dan mengakui kekalahannya.

Aku mencintainya. Entah kalimat apa yang bisa menggambarkan sebuah rasa yang lebih dari itu. Jika ada, pasti sudah kukatakan padanya lewat puisi-puisiku yang selalu berhasil mengukirkan senyumnya dan mendaratkan dua-tiga kecup yang selalu manis.

Dia mencintaiku. Bahkan dia lebih hebat dalam menunjukkannya daripada menyusun sebuah kalimat yang tepat untuk menggambarkan arti setiap tatapan teduhnya.

Seperti air yang jatuh dari talang, cinta itu pun kemudian jatuh sejatuhnya, lalu pergi dalam aliran-aliran kecil, menemukan aliran yang lebih besar, lalu mencari bentuknya sendiri di sebuah muara. Segala bentuknya yang akan tetap juga mengalir, berharap menemukan sebuah samudra. Dan kami hanyut di dalamnya.

Oh, tidak, tidak. Kami tidak selamanya menjadi tuhan atas roman yang kami tuliskan. Sesekali, darahku juga keruh. Marahku meletup ketika dia terlambat menepati sebuah janji. Egoku terpupuk, ketika lembaran-lembaran hasil keringat yang kutabung untuk membawanya ke suatu tempat dalam rencanaku, habis dibelikannya baju. Baju yang ternyata dia belikan untuk mengganti baju kumal dan koyak-koyak yang kupakai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline