Covid-19 telah menyerang banyak Negara di berbagai belahan dunia. Seolah menjadi pembuka halaman tahun yang merubah wajah peradaban. Virus yang diketahui bermula di tiongkok ini, tepatnya di Wuhan telah menjangkiti ratusan bahkan ribuan masyarakat dunia.
Hal ini menjadi konspirasi global sekaligus musuh yang tak kasat mata. Tim medis, media massa, pemerintah dan segala instrumen sejumlah Negara mencoba sekuat tenaga meneliti dan membuat penawar untuk pandemi yang menyulut kepanikan global ini. Upaya -- upaya yang dilakukan pemerintah menjadi buah simalakama bagi masyarakat.
Namun sebelum lebih jauh, kenyataan hari ini mengingatkan kita pada sebuah novel terkemuka di awal abad 19 yang ditulis oleh Albert Camus. Novel La Paste yang mengisahkan tentang penyakit sampar yang menjadi wabah gelap bagi tentara SS Nazi. Camus menyampaikan pesan mendalam pada tulisannya tentang bagaimana manusia perlu berjuang di depan absurditas kehidupan. Dalam banyak literatur, sampar diartikan sebagai simbol banyak hal, salah satunya adalah kejahatan yang belum terbalaskan.
Dalam novel tersebut digambarkan bahwa wabah sampar menyerang kota Oran, Aljeria. Kekacauan, Kepanikan, dan Kekhawatiran pun terjadi. Dokter, Media Massa, Birokrat pemerintah, dan segenap elemen masyarakat menyikapi hal tersebut dengan ketakutan yang radikal.
Kendati pada sisi lain, ada yang menjadikan momentum tersebut sebagai arena mengambil keuntungan, bahkan banyak pula yang tidak peduli. Camus mengajak kita untuk merefleksikan diri terhadap eksistensi manusia di depan bencana dan kematian.
Pada kenyataan hidup, kita justru kerap menemukan keganjlan dan kejanggalan yang diluar nalar dan akal. Bila kita cermati, tak sedikit orang tua yang mengubur anaknya hidup-hidup, pemuda yang membunuh kedua orang tuanya, guru memperkosa muridnya, murid yang membantai gurunya, orang kaya yang tetap menghimpun segala materinya, buruh pabrik dan lelaki renta yang berusaha melawan corona, dan disaat yang sama kita dijejalkan oleh kenyataan bahwa masih banyak keluarga miskin yang hidup di bibir-bibir sungai, belantara hutan, desa pedalaman, yang hidup turun temurun dalam keadaan lingkungan yang becek dan gelap. Bocah-bocah yang kecil mengais sedikit demi sedikit kepingan rupiah demi mengganjal perutnya.
Kita tidak bisa menanggalkan utopia, bagi camus Utopia hanyalah sebuah Keadilan yang ditunda sampai masa depan yang jauh. Dimana, penderitaan, kekerasan, dan ketidakadilan seakan-akan harus kita terima begitu saja. Camus tidak ingin kita menjadi seorang fatalis, Pun demikian kita. Camus memaknai absurditas secara mendalam.
Baginya, segalanya adalah kesia-siaan. Manusia adalah orang mati yang tertunda. Dalam La paste pun digambarkan tokoh dokter Rieux melihat setiap harinya puluhan pasiennya meninggal. Jauh dari keberdayaan, ia seolah memperlambat kedatangan ajal pasiennya. Lantas jika kita tarik pada fenomena hari ini, apa yang mesti kita lakukan ?
Bagi Camus, Melawan adalah cara. Setidaknya kita dapat meletakkan jangkar harapan dan keyakinan pada dinding ketuhanan dan kemanusiaan. Oleh karenanya kita perlu melawan Covid 19 secara berjamaah. Dengan berbagai upaya upaya dan cara cara yang memaksimalkan kita dapat melewati kenyataan ini dengan usaha dan perjuangan bersama
Tak terkecuali juga peran pemerintah, Perlu adanya langkah-langkah radikal yang mesti diambil. Bicara Indonesia hari ini, adalah bicara 500 kasus dan 30 lebih korban jiwa melayang. Setiap harinya bertambah, dan setiap harinya puluhan orang tertular.
Rakyat tidak bisa dibiarkan tenggelam dalam rasa panik yang mendalam. Kepala Negara dan jajaran pungggawa kabinetnya perlu betul-betul menyiasati keadaan ini. Berkaca pada Negara-negara yang dengan teknologi super canggih dan sistem kesehatan terbaik dunia pun tak sedikit masih juga menelan korban jiwa.