Tulisan ini didedikasikan pada kesempatan hari lahir Pancasila
Memahami pancasila sebagai arah pandang Bangsa tidak dapat dipahami secara sepenggal-sepenggal. Harus diselami secara dalam dan koheren. Harus dipahami secara jamak, karena pemahaman secara tunggal akan memelesetkan maksud filosofis Pancasila itu sendiri. Seperti penulis gambarkan dalam beberapa tulisan yang lebih dulu, bahwa sekitar awal Tahun lalu beredar viral video ceramah salah seorang tokoh Ormas yang mengatakan Pancasila yang benar sesuai lahirnya ialah Pancasila 18 Agustus 1945. Jelas ini pemahaman yang salah, akan penulis gambarkan secara luas dalam tulisan ini.
Pancasila lahir tanggal 1 Juni 1945, Benarkah?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan uraikan bagaimana Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) berdiri. Badan ini sendiri berdiri pada 1 Maret 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang Hirohito dan juga posisi Jepang yang sudah mulai terdesak di Perang Dunia II. Akhirnya pada 28 Mei Anggota BPUPK yang berjumlah 60 orang dilantik di gedung voolkstraad, kemudian tanggal 29 Mei BPUPK mulai bersidang untuk merumuskan dasar negara merdeka. Sidang yang digelar selama tiga hari dipimpin oleh Dr. Radjiman Wedyoningrat, dan sekitar 40 orang menyampaikan gagasannya, namun selama itu juga pertanyaan Dr. Radjiman Wedyoningrat selaku ketua BPUPK tidak terjawab.
Maka dalam pidato terakhir yang disampaikan oleh Ir. Soekarno selama satu jam tanpa teks tepat tanggal 1 Juni 1945 menjawab pertanyaan ketua BPUPK. Pidatonya akhirnya dicatat oleh notulen sidang dan diterbitkan menjadi sebuah buku dengan ditandatangani oleh Dr. Radjiman Wedyoningrat yang berjudul Lahirnya Pancasila.
Pidato Ir. Soekarno yang begitu berapi-api di hadapan peserta sidang BPUPK, menjadi landasan filosofis kenapa Indonesia harus merdeka, ada lima prinsip yang ia disebutkan : 1) Kebangsaan Indonesia, 2) internasionalisme atau perikemanusiaan, 3) Mufakat atau Demokrasi, 4) Keadilan Sosial, 5) Ketuhanan yang berkebudayaan.
Dalam penjelasannya ia mengatakan :
“Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosaki ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan. Saya minta, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: Maafkanlah saya memakai perkataan kebangsaan ini! Sayapun orang Islam.
Tetapi saya minta kepada saudara-saudara. Janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu nationale staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit.
Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakana kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuan pun orang Indonesia, nenek tuan pun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.
Saudara-saudara, Tetapi tetapi menentang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinism, sehingga berfaham Indonesia Uber Alles. Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi tanah air kita Indonesia hanya satu bagian kecil saja daripada dunia! Ingatlah akan hal itu! Gandhi berkata: Saya seorang nasionalisme, tetapi kebangsan saya adalah peri kemanusiaan.
My nationalism is humanity….
"…Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara ―semua buat semua ― satu buat semua, semua buat satu. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan…". "Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka".
“…Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa".
Jelaslah pandangan Ir. Soekarno ini merupakan pandangan yang tegas mengapa Indonesia harus merdeka, tanpa mengesampingkan latar etik budaya bangsa Indonesia. Bahkan setelah berakhirnya pidato Ir. Soekarno tak ada penolakan satupun dari anggota sidang BPUPK. Setelah itu Ketua BPUPK menyarankan untuk dibentuk panitia delapan yang bertugas menyempurnakan redaksi dari Pancasila itu sendiri. Tanggal 22 Juni menjadi momentum bersejarah, dimana dirumuskannya Konstitusi negara, kemudian disanalah Pancasila disempurnakan dengan sembilan anggota. Delapan anggota sebelumnya menurut saran Dr. Radjiman, dianggap tidak berimbang, karena empat orang merupakan perwakilan golongan kebangsaan dan empat orang mewakili golongan keagamaan, sehingga harus ada satu orang yang menjadi penengah. Ir. Soekarno lah yang menjadi penengah dari kedua golongan tersebut sekaligus sebagai ketua panitia. Disini konsep Pancasila semakin utuh dan mendekati kesempurnaan, kemudian dinamakan sebagai Piagam Jakarta.
ketika 18 Agustus 1945, tepat sehari setelah Indonesia merdeka, konstitusi pun disah kan walau dalam keadaan darurat, terutama agar segera mendapatkan pengakuan internasional. Maka butir-butir Pancasila pun dimasukkan kedalam pembukaan konstitusi. Ketika kita pahami cara pandang pendiri negara ini dalam memahami Pancasila, maka kita tidak bisa lepaskan secara terpisah. Harus koheren antara satu kejadian dengan kejadian lainnya.