Lihat ke Halaman Asli

Zainal Muttaqin

Pena adalah senjata

Analisa Kekuatan Politik Partai Nasionalis-Religius

Diperbarui: 21 Maret 2017   21:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kemunculan Partai Nasionalis Religius

Nasionalis-Rligius sebetulnya merupakan sebuah dialektika dari awal Negara ini merdeka, dimana ketika merumuskan Pancasila sebagai dasar Negara terjadi pertentangan antara kaum Nasionalis dengan kaum religious islam dalam tubuh BPUPKI. Dimana kaum agamis menginginkan Indonesia berlandaskan Islam, sedangkan kaum Nasionalis yang dimotori Soekarno menginginkan bentuk Negara-Bangsa. Kalangan islam menuding kelompok Sukarno sebagai sekuler barat ingin menerapkan konsep-konsep barat di Indonesia, untuk itulah konsep itu ditentang, namun Sukarno tetap teguh dalam pendiriannya, bahkan dia menjelaskan bedanya penerapan konsep Negara-Bangsa di Indonesia, rupanya Sukarno tidak menelan mentah-mentah Negara-Bangsa yang dicetuskan di Barat, namun ia menyesuaikan dengan kondisi religiusitas di Indonesia, kemudian diterima sebagai kesepakatan bersama.


Menilik fakta historis, jargon Nasionalis-Religius sebetulnya minim akan fakta historis. Namun jika kita kaitkan dengan Resolusi Jiad yang dikeluarkan oleh NU menjelang kemerdekaan, mungkin istilah ini saling berkaitan. Seperti kita ketahui menjelang kemerdekaan NU membetuk laskar Hizbullah sebagai barisan tentara dari kalangan kiyai-santri dengan tujuan mempertahankan NKRI.


Secara terang mucul partai berhaluan Nasionalis-Religius pada awal memasuki reformasi, yaitu Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipelopori oleh Amien Rais sebagai tokoh Muhammadiyah, sehingga PAN sering diidentikan dengan kalangan Muhammadiyah. Selain PAN, lahir pula Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai metamorfosa dari partai NU dipimpin oleh ketua umum NU KH. Abdulrahman Wahid, haluan PKB bukanlah Partai Islam melainkan usungan utamanya adalah kebangsaan. Baik PAN maupun PKB, merupakan sama-sama partai yang memunculkan jargon Nasionalis-Religius. Menjelang pemilu 2004 muncul partai baru yang berhaluan Nasionalis-Religius, yakni Partai Demokrat yang kelak mengantarkan Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden RI. Berbeda dengan dua partai sebelumnya, Demokrat tidak lah mucul dari kalangan santri dan terpelajar islam, melainkan dari kalangan nasioalis sekuler dan tokoh militer.

Kekuatan Partai Nasionalis-Religius Dalam Kiprahnya

Kekuatan politik Idonesia berasal dari kekuatan Partai Poltik untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan. Dimulai tahun 1955 pemilu dilakukan untuk memilih perwakilan rakyat melalui partai, pada masa ini kekuatan PNI mampu menempatkan kekuatan-kekuatan kalangan nasionalis berada pada berbagai jabatan politiknya, selain itu juga kalangan religious islam juga menempatkan diri pada posisi kedua dan ketiga (NU & Masyumi), disusul oleh PKI yang berhaluan komunis yang berada pada empat teratas perolehan suara.


Memasuki masa Demokrasi terpimpin, terjadi kemerosotan perolehan dari kalagan partai islam. Pada masa ini yang memilki porsi besar ialah kalangan Nasioalis dan Komunis (PKI) yang dimotori oleh D.N. Aidit. Bahkan beberapa partai seperti Masyumi dan PSI dibubarkan oleh pemerintah dengan tuduhan kontra revolusioer. Selesai era demokrasi terpimpin, maka sejarah mencatat orde baru yang dipimpin oleh Suharto menjadi bagian dari perjalanan bangsa.


Berkuasanya orde baru tak pelak dari konflik aliran yang menguat pada masa itu, dimana kalangan militer menganggap komuisme dapat mengancam keberadaan Pancasila sebagai ideology Bangsa, hal ini tidak terlepas dari perolehan hasil suara pemilu 1955 dimana PKI berada pada posisi strategis dan berkembang secara pesat. Maka atas kewenangan Soeharto sebagai menteri Perahanan membubarkan paksa PKI pada tahu 1965, dan orang-orang yang berkaitan dengan PKI ditagkap, bahkan dari beberapa sumber pemberangusan dilakukan dengan pembantaian, kemudian dikuatkan dengan keluarnya TAP MPRS XXV/1966 yang membuat kalangan komunis makin terpuruk. Dengan cara inilah melenggangkan Suharto naik pada tahta Presiden Republik Indonesia selama 32 tahun.


Politik orde baru, pada awal pemerintahannya mendapat begitu banyak guncangan, sehingga menyebabkan Suharto melakukan kebijakan-kebijakan radikal, diantaranya adalah dilakukannya fusi partai pada tahun 1973, dicetuskan asas tuggal pancasila dan pelarangan-pelarangan organisasi kritis. Kebijakan pengekangan Orde Baru mengakibatkan menguatnya koflik yang berujung pada peristiwa malaria tahun 1974, peristiwa tanjung priuk tahun 1984, kuda tuli 1996 sampai kepada reformasi 1998.


Era orde baru juga disebut era emasnya kaum abangan pada masa modern, dimana melalui kebijakannya Orde Baru menyetujui berdiriya Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), akan tetapi praktiknya dengan adanya LDII membuat fenomena kaum abangan semakin merebak, dalam arti penyakit Tahayul, Bida dan Kuarafat semakin kuat dalam ritual-ritual budaya, terutama budaya Jawa.


Masa-masa potitik orde baru sering diidentikan dengan Golkar, hal ini juga ditunjukkan dengan kemenangan Gokar tujuh kali berturut-turut dalam masa Orde Baru. Hal ini disebabkan dibubarkannya parai peserta pemilu dari sekian banyaknya difusikan menjadi tiga partai. Partai yang berhaluan Nasionalis difusikan kepada PDI, partai yang bernafaskan islam bergabung pada PPP, sedangkan Golkar berdiri sendiri dengan mengusung kekaryaan (terdiri dari pegawai negeri, Ormas-ormas, militer dan kalangan golongan-golongan yang tidak termasuk dalam kedua aliran yang disebutkan). Dengan cara ini Orde Baru berasil melenggang selama 32 tahun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline