Lihat ke Halaman Asli

Setapak Bali di Ranah Deli

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tak perlu jauh-jauh ke Pulau Dewata Bali jika ingin menikmati suasana khas Bali. Ya, Kampung Bali yang berlokasi di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara ini bisa menjadi representatif, bagi yang ingin mengenal secara dekat kultur budaya masyarakat Bali.

Waktu itu, aku ikutan hunting foto bareng Medan Street Hunting ke Kampung Bali. Cukup sulit juga menjangkau wilayah ini. Soalnya, akses menuju lokasi terhitung sulit, ditambah pula jalanan yang masih rusak. Dari Medan, kita bisa melewati akses jalan menuju Kota Stabat. Setelah melewati kota ini, kita bakalan menemuin desa Paya Tusam. Dari sinilah akan ada plang yang merujuk ke kampong Bali. Jika ditotal dari stabat, kita bakalan  menempuh perjalanan sekitar 60 KM.

Berhati-hatilah dengan jalan menuju Kampung Bali. Karena masih banyak jalan yang belum dialas aspal. Meski Pemkab Langkat udah netapin Kampung Bali sebagai Kampung Budaya, namun tetap aja infrastruktur jalan menuju ke kampong ini masih jauh dari perhatian. Ditambah lagi, kita harus menyebrang sungai Wampu dengan getek. Sebenarnya nakutin, tapi menantang dan seruuuuuu

Oya, karena keadaan jalan yang memprihatinkan, nggak disaranin bagi  membawa mobil pribadi menuju Kampung Bali. Dari Desa Paya Tusam, kita bisa naik ojek menuju ke sana.Mumpung hunting foto rame-rame, jadinya kami kesana emang konvoi sepeda motor.

Lelahnya menempuh perjalanan akan terlupakan ketika kita tiba di sini. Sebuah desa bernuansa Bali yang masih asri sungguh menarik perhatian. Di beberapa rumah terdapat sanggah, yakni pura kecil yang ada di depan rumah penduduk. Budaya khas Bali juga melekat di sini, tampak dari masyarakatnya termasuk tata cara memasuki pura yang harus mengenakan anteng (kain kuning) yang diikat di pinggang.

Di tengah perkampungan ini, kita akan mendapati Pura Panitaan Agung Jagat Widhi Nata yang sehari-harinya digunakan untuk kegiatan keagamaan bagi masyarakat Hindu Bali disini. Jangan kaget jika nemuin binatang peliharaan semacam anjing atau babi, karena masayarakat di sini memang memeliharanya.

Saat itu, kami bertemu dengan I Nengah Samba (63 tahun) yang merupakan pemangku adat di kampong ini. Pak Made, sapaan, menjelaskan sejarah berdirinya kampong ini.

“Saya ingat sekali waktu itu keluarga saya pindah ke sini pada tahun 1963, saat itu usia saya masih 3 tahun,” ujarnya. Pak Made menjelaskan bahwa masyarakat di sini masih menjaga kultur asli budaya Bali meski minim fasilitas. “Masih ada anak muda yang belajar menari Bali. Kami juga masih menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa kami.”

Ternyata, tak semua kepala keluarga yang masih asli orang Bali dan beragama Hindu, lho. Seiring berjalannya waktu, banyak orang yang datang dan pergi di Kampung ini. Meski tergolong komunitas minoritas, tapi mereka hidup berdampingan.

Satu hal yang disayangkan Pak Made adalah kurangnya perhatian pemerintah setempat dalam hal sarana dan prasarana, terutamanya adalah jalan menuju kampong ini. “Dahulu, saat kampanye pemilihan caleg banyak yang datang ke sini menawarkan janji-janji. Tapi, janji hanyalah janji, sampai sekarang infrastruktur menuju kesini masih rumit. Saya selaku pemangku adat berharap agar pemerintah bisa memperbaiki jalan menuju ke kampong Bali,” pungkasnya.

Sepertinya, bukan hanya tugas pemerintah saja yang harus menjaga kampung ini Kita sebagai warga sumatera utara juga bisa menjaga  kampung ini. Salah sautnya adalah dengan memperkenalkan kampung ini kepada masyarakat luas. Setuju?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline