Lihat ke Halaman Asli

Amerika Siap Sadamhusseinkan Khadafi

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1299042128786601240

[caption id="attachment_93886" align="aligncenter" width="320" caption="Muammar Khadafi selalu menujukkan kesederhanaan dengan tinggal di istana kemah ini (gambar/google)"][/caption] Reaksi Amerika terhadap krisis di Libya sedikit berbeda dengan pendekatan terhadap sejumlah negara-negara Timur Tengah yang sebelumnya diterpa badai revolusi rakyat. Revolusi melati yang menjalar sepanjang daratan Afrika hingga Asia Barat  yang sebelumnya dimulai dari tanah kelahiran Ben Ali, Tunisia itu oleh banyak pengamat dilihat sebagai efek domino tak terkendalikan. Rezim Ben Ali seketika tumbang di tangan rakyat yang sudah tidak tahan melihat perilaku koruptif Ben Ali dan keluarganya selama dua puluh tahun lebih. Tumbangnya Ali lantas menginspirasi negara-negara terdekat untuk melakukan hal serupa, dan terbukti kekuatan rakyat lagi-lagi mampu menumbangkan rezim Hosni Mubarok yang telah bercokol pada singgasana kekuasaan tiga puluh tahun lamanya di Mesir. Episode revolusi terus berlanjut ke berbagai negara, sehingga sempat sejumlah pemimpin negara-negara mewanti-wanti agar angin revolusi Tunisia jangan sampai masuk ke negara mereka, ditandai dengan pengerahan pasukan anti huru-hara disertai kendaraan tempur saat demonstrasi berlangsung di pusat kota, persis seperti dilakukan rakyat Tunisia. Perbedaan sikap AS bisa kita lihat dari serangkaian pernyataan pemimpin tertinggi AS. Lihat saja ketika Presiden AS Barack Obama dan Hillary Clinton sebagai pemegang kontrol kebijakan luar negeri terus aktif merespon perkembangan yang terjadi di Timur Tengah. Kala Tunisia bergejolak AS dengan bangga pasang badan menyatakan perlunya demokrasi dan pentingnya mendengar keluhan rakyat. Pun ketika Mesir selama tiga minggu dikepung demonstran AS lagi-lagi lewat pejabat tingginya melihat ke arah mana angin berhembus, mendukung Mubarok setengah hati sekaligus mempersiapkan strategi untuk mencuri hati para petinggi demontran yang kelak memegang kendali jika Mubarok jatuh. Pesan AS ketika itu adalah meminta agar pihak pemerintah tidak menggunakan cara-cara kekerasan untuk meredam aksi demonstrasi rakyat, sekaligus menitip pesan agar mendegarkan nasehat AS untuk urusan demokrasi. Perbedaan mencolok ketika AS merespon krisis di Libya dimana Muammar Khadafi sebagai presidennya. Barangkali karena kolonel Khadafi lebih "galak" dibanding dengan rezim-rezim tetangga yang sebelumnya tumbang, maka oleh AS sang kolonel Khadafi diperlakukan khusus. Semua orang tahu bahwa antara Khadafi dan AS tidak pernah terjalin hubungan akrab. Alih-alih bersikap lunak terhadap AS, Khadafi justru konsisten dengan sikapnya yang frontal berhadapan dengan para petinggi AS disertai kritik-kritik kerasnya terhadap kebijakan AS. Salah satu moment yang memalukan bagi AS adalah ketika Khadafi berpidato di sidang Dewan Keamanan PBB dan tanpa ragu Khadafi merobek buku aturan PBB, sembari menyebut Dewan Keamanan sebagai Dewan Terorisme. Tidak hanya itu, boleh jadi Khadafi adalah satu diantara sedikit pemimpin yang mendapat "black list" bersama pemimpin revolusioner semacam Chavez, Morales, Ahmadinejad, dan yang setipe, di mata AS. AS mengecam keras aksi kekerasan yang terjadi di Libya dengan mengeluarkan regulasi-regulasi bersifat membatasi gerak-gerik Khadafi, mulai dari pembekuan aset pribadi, pelarangan impor senjata, pelarangan terbang pesawat tempur, tentu saja dengan menggandeng PBB. Selain itu, AS juga kelihatannya sudah siap-siap dengan strategi terburuk menyerang rezim Khadafi hingga pada akhirnya membuat sang kolonel bertekuk lutut dibawah kaki Obama. Berlayarnya kapal perang AS ke perairan Afrika menuju Mesir, meliputi kapal induk Enterprise beserta elemen pendukung misi penghancuran lainnya adalah pertanda buruk. Mimpi buruk bagi rakyat Libya karena harus diintervensi oleh negeri Paman Sam. Jika tidak hati-hati maka tidak menutup kemungkinan Khadafi akan diperlakukan seperti Sadam Hussein satu dasawarsa lalu. Jika memang AS memiliki niat untuk membuat Libya seperti Irak, maka kita mengingatkan agar AS jangan mengulangi kesalahan serupa karena berfikiran picik mengejar minyak dengan menafikan sisi kemanusiaan. Potret kehancuran Irak adalah luka kemanusiaan yang sampai hari ini masih belum disembuhkan. Apakah AS masih belum puas melukai rasa kemanusiaan? [caption id="attachment_93887" align="aligncenter" width="619" caption="Kapal Induk Enterprise lengkap dengan peralatan tempur mematikan merapat ke perairan Libya (gambar/kompas)"]

12990422911383853538

[/caption] Salam Kompasiana Yogyakarta, 02 Maret 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline