[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Bank Indonesia selaku benteng terakhir penjaga stabilitas ekonomi nasional (Foto/Kompas)"][/caption]
Mata uang rupiah termasuk salah satu mata uang yang paling rentan terkena imbas krisis ekonomi global. Krisis ekonomi dunia tahun 1997/1998 di Asia Tenggara termasuk salah satu cerita paling parah dalam sejarah ekonomi Indonesia. Ketika itu mata uang Indonesia bersama Thailand, Singapura dan Malaysia sangat terdegradasi, nilai tukar rupiah yang diprediksi bertahan di angka 4, 000 rupiah per dollar Amerika Serikat ternyata naik hingga lima kali lipat hingga 10,000 rupiah per dollar (Hal Hill, 1999).
Goyahnya rupiah ketika krisis moneter melanda merupakan dampak langsung dari keterikatan ekonomi Indonesia dengan ekonomi dunia. Indonesia menganut doktrin ekonomi "flexible system" dimana nilai tukar rupiah menyesuaikan dengan kondisi pasar dan harganya bisa berubah-ubah bergantung pada fluktuasi di pasar global (IMF, Juni 2000).
Dalam dunia yang saling bergantung ditengah skema globalisasi mata uang asing berdampak langsung bagi kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Jika nilai tukar rupiah melemah otomatis akan berdampak langsung pada harga bahan pokok di pasaran, mulai dari harga barang elektronik seperti laptop, handphone, kendaraan, dan seterusnya. Ketika harga dollar menguat mengalahkan mata uang rupiah otomatis negara harus bisa menyesuaikan APBN. Jika terjadi penguatan mata uang rupiah terhadap mata uang asing implikasi sebaliknya akan terjadi.
Apa penyebab dollar berdampak langsung bagi kehidupan kita seharai-hari? Jawaban singkatnya adalah karena mata uang Amerika Serikat ini merupakan alat transaksi yang diakui dunia internasional saat bertransaksi di pasar internasional. Ketika Indonesia (melalui perusahaan seperti Pertamina) hendak membeli minyak kepada perusahaan seperti Exxon, Shell atau Gazprom maka alat pembayaran yang diakui adalah dollar atau Euro. Setiap kali perusahaan Indonesia mengimpor beras dari Thailand, Vietnam atau negara lainnya alat pembayaran yang diakui, lagi-lagi adalah dollar atau Euro.
Sementara jawaban panjangnya adalah, karena dollar merupakan mata uang negara Paman Sam yang saat ini menjadi penguasa dunia, satu-satunya negara yang bisa mengatur kemana arah ekonomi dunia sekaligus mengatur seperti apa ekonomi dunia harus dimainkan, tentu saja melalui lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Amerika tanpa ragu adalah dirijen dari kehidupan ekonomi kita sehari-hari. Ketika dunia sepakat menggunakan dollar Amerika atau Euro usai Perang Dunia II maka sejak saat itulah nasib ekonomi kita tergantung pada kuat atau tidaknya mata uang kita terhadap dollar. Kenyataan ekonomi dunia hari ini merupakan hasil dari keputusan masa lalu rezim Bretton Woods yang terjadi pada 1944, momen kelahiran dua institusi paling berpengaruh: IMF dan Bank Dunia (IMF, 2000).
Makan Tempe, Tahu dapat Melawan Dollar?
[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Salah satu sentra perekonomian nasional berada di pasar-pasar rakyat (Foto/Kompas)"] [/caption] Ekonomi sebuah negara yang terlalu bergantung pada modal asing sangat rentan mengalami destabilitas. Apalagi jika investasi tersebut investasi jangka pendek pada sektor elit seperti bursa saham. Investasi model ini sering disebut "uang panas" ia disebut panas karena sifatnya yang tidak menetap. Bisa diambil oleh pemilik modal kapan saja ia mau. Jika si pemilik modal sedang tidak suka dengan iklim politik di sebuah negara maka dengan sendirinya ia akan pergi. Kepergian investor sangat berdampak bagi struktur ekonomi yang telah dibagun. Jika pondasi ekonomi sebuah negara lemah maka ia akan berdampak sistemik, menyentuh semua sektor, dampak langsungya bisa berupa PHK di berbagai tempat kerja, mulai dari sektor perbankan hingga tempat produksi paling kecil.
Teori sederhananya setiap kali pemerintah diwakili oleh perusahaan dalam negeri melakukan impor produk dari luar negeri maka ia harus menggunakan dollar atau euro, semakin banyak permintaan atas dollar dari Bank-Bank dalam negeri maka mata uang ini akan semakin berkurang, semakin terbatas, ketika dollar terbatas maka ia akan kuat, karena demand dan supply bisa tidak seimbang. Bank Indonesia selalu punya teori mengamankan ekonomi nasional dengan cara menyimpan valuta asing sebanyak-banyaknya agar setiap serangan para spekulan bisa diredam.
Mengapa Bank Indonesia meminta kita membeli produk dalam negeri? Karena dengan membeli produk dalam negeri otomatis kita akan membantu para arsitek ekonomi nasional meliputi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) nasional untuk menghidupkan ekonomi nasional dengan perputaran uang terjadi di dalam negeri saja tanpa melibatkan mata uang asing. Produsen tempe di Jogja membeli bahan baku di Solo dengan menggunakan mata uang rupiah tentu saja tidak akan mengganggu persedian uang dollar Bank Indonesia. Produsen sepatu kulit di Cibaduyut membeli bahan pokok dari Banten dengan menggunakan mata uang rupiah secara otomatis tidak mengganggu tabungan Bank Indonesia. Dengan begitu maka produsen tempe dan sepatu kulit telah berjasa menghindarkan Indonesia dari ketergantungan skema ekonomi global.
Dan, yang tak kalah penting setiap kali kita membeli produk nasional seperti tahu atau tempe atau sepatu Cibaduyut maka dengan sendirinya kita telah membantu denyut nadi ekonomi nasional tetap bergerak tanpa peduli apa yang sedang terjadi dengan fluktuasi harga dollar di luar sana.
Semoga tulisan sederhana ini bisa menjadi informasi bagi masyarakat Indonesia untuk menjadi konsumen yang bijak. Sekaligus menjadi patriot bagi kelangsungan ekonomi nasional dengan mengkonsumsi produk dalam negeri. Sejak hari ini mari biasakan diri dengan produk dalam negeri. Menjadi konsumen cerdas ditengah arus globalisasi. Salam bijak dan cerdas.
-M. Sya’roni Rofii, analis Ekonomi Politik Global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H