Pemberlakukan Syariat Islam di Aceh berjalan pasca lahirnya Qanun No 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Meskipun penerapan Syariat Islam di Aceh sudah berjalan namun masih saja terjadi pelanggaran berupa Maisir, Khalwat dan Khamar. Dalam beberapa kasus ditemukan bahwa pelaksanaan Syariat Islam di Aceh dinilai tebang pilih, untuk itu evaluasi sangat dibutuhkan dalam rangka menerapkan Syariat Islam secara Kaffah di Bumi Serambi Mekkah.
Pemberlakukan hukum Jinayat (hukuman cambuk) tentu masih belum memberikan efek jera kepada para pelaku pelanggaran. Hal ini bisa dilihat dalam angka hukuman cambuk yang terus meningkat pertahun nya, sebagimana data yang dimuat Kompas.Com pada 27 Juni 2018 bahwa angka pelanggaran meningkat pada periode 2018-2019 meningkat 59 kasus dibandingkan tahun sebelumnya hanya mengalami angka 24 kasus pelaku pelanggar Syariat di Aceh.
Tentu hal ini merupakan Pil Pahit bagi pemerintah Aceh terutama Dinas Syariat Islam selaku pengemban amanah Qanun No 6 Tahun 2014. Semestinya dengan adanya penerapan Qanun Jinayat bisa memperkecil bentuk pelanggaran Syariat Islam di Aceh. Maraknya sosialiasi penerapan Syariat Islam di Aceh bukan memperkecil angka pelanggaran malah memperbesar angka pelanggaranNya. Sosialisasi SI hanya sebagai simbol bahwa Pemerintah Aceh serius dalam mengurus penerapan Qanun No 6, Implementasinya kelapangan kurang.
Semestinya Pemerintah Aceh lebih serius dalam penerapan Syariat Islam, tidak ada tebang pilih dan intervensi dalam penegakan Qanun No 6. Dukungan tersebut bisa dalam bentuk dukungan APBD yang selama ini hanya dialokasikan 5% untuk Penegakan Syariat Islam. Angka yang sangat kecil apabila dibandingkan dengan anggaran belanja lainnya yang dianggap tidak begitu penting. Keterlibatan santri-santri dayah sangat dibutuhkan dalam rangka mendukung pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Diharapkan kepada Pemerintah Aceh agar menggandeng para santri-santri dalam penegakan Syariat Islam.
Penggabungan SATPOL PP dengan personil Wilayatul Hisbah (WH) tidak berdasarkan Tugas Pokok dan Fungsi kedua lembaga tersebut. Secara tidak langsung sudah merendahkan Marwah Wilayatul Hisbah yang mayoritasnya Ustad-Ustad dan Teungku-Teungku Dayah. Antisipasi aksi main hakim dipandang perlu penegakan jelas dan tertulis, semua itu untuk kemaslahatan umat.
Maraknya prostitusi terselubung, narkoba hingga kumpul kebo di Bumi Serambi Mekkah menandakan bahwa Qanun No 6 Tahun 2014 perlu ditinjau ulang. Baik dalam bentuk perubahan Isi Qanun atau evaluasi Penegakan Hukumnya. Hal tersebut ditandai bahwa para pelanggar tidak takut dengan penerapan Qanun No 6 Tahun 2014.
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sebagai penyambung lidah diharapkan tidak hanya terfokus kepada Budgeting semata, diharapkan juga fokus kepada Legislasi. Selama ini DPRA lebih terkonsentrasi kepada Budgeting dan Pengawasan, dari sisi Legislasi dinilai sangat lemah.
Tentu saja, apabila Pemerintah Aceh lemah dalam pelaksanaan Syariat karena ditakuti dengan isu-isu HAM maka hal demikian dianggap Syariap. Tebang pilih dalam penegakan hukum juga dianggap Syariap. Ada intervensi kekuasaan dalam penegakannya juga dikatagorikan Syariap. Aceh sebagai Daerah Istimewa mempunyai wewenang dalam menjalankan Pemerintahan Sendiri (Self Goverment) sebagaimana amanah Memorandum of Understanding (MoU Helsinki). Karena itu diperlukan penerapan Syariat Islam secara Kaffah, tanpa pandang bulu serta tebang pilih.
Penulis Zikrillah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H