Lihat ke Halaman Asli

Tentang Hujan

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13434603721290961076

“Aku kehilangan hujan sore ini. Cukup deras ia mengalir. Anugerah yang terindah bukan? Namun, aku membiarkannaya berlalu begitu saja. Membiarkannya bermain-main di jalanan sendiri, atau menggoda pejalan kaki yang terburu-buru, dan sesaat, seperti berhenti, ia menoleh, mengejekku, sekali lagi, menyeringai, dan kembali bermain dengan pohon-pohon yang mulai penuh pada goresannya. Tapi aku tak bergeming, menatapnya dari balik kaca yang buram berembun. Menatapnya nanar, seakan dia adalah kawan lama yang hilang. Aku kehilangan ia sekali lagi.” ** Di penghujung musim kemarau, hujan gerimis jatuh perlahan. Membasahi jalan-jalan beraspal yang penuh debu menyesakan nafas. Memberikan harapan, pada jejak-jejak yang ingin menghilang, dan pada rumput-rumput yang telah meranggas. Kehidupan baru untuk benih-benih yang terlanjur tersebar. Seluruh alam menyeru kegembiraan. Sang pemberi kehidupan bermurah hati mengakhiri musim kering mereka. Sore yang indah, sore yang basah dengan pengharapan. Dari kelokan yang terletak di ujung jalan, dari pintu gerbang sebuah swalayan, seorang gadis kecil menenteng sekantong belanjaan dengan susah payah. Namun bibirnya menyunggingkan sebuah senyum menyeringai. Ia lebih kuat dari apa yang dikira Ibunya yang kini berjalan di belakangnya. Ia menang melawan keraguan Ibunya yang kini melindunginya dari gerimis dewngan payung. “Kalo ngga kuat biar Ibu saja, Re,” kata ibunya sedikit kawatir. Bukan pada anaknya yang memang sedikit bandel, tapi pada belanjaannya. Bukannya tak sayang pada anaknya sendiri, tapi bukankah sering kali gadis kecilnya itu menjatuhkan barang-barang yang dibawanya. “Kuat ko, Bu. Masa segini aja ngga bisa,” kata anak gadis berusia enam tahun itu yakin. Ah, siapa pula yang tak yakin. Berat belanjaan itu tidak sampai dua kilo. Anak-anak seusianya bukankah sering membawa barang-barang berkali lipat lebih berat. Ia biasa melihat mereka di pasar-pasar. Berpakaian kumuh namun kuat. Ia ingin seperti mereka. “Tapi hati-hati ya,” pesan ibunya lagi, tetap kawatir. Ada beberapa barang yang mudah pecah di dalam sana. Anaknya mengangguk mantap. Tes..tes..tes..tes..tes..tes.. Bulir-bulir hujan yang semakin besar mengenai wajah anak itu. Ia terpana. Bagai tersihir, ia melangkah lebih cepat, hingga tubuhnya tak terjangkau payung Ibunya. Lebih banyak lagi tetesan air yang mengenainya. Tidak hanya wajahnya, tapi seluruh kepalanya hingga rambutnya mulai basah. Tapi ia tak merasai air yang mulai menembus bajunya, atau dinginnya, dan basahnya. “Tere main hujan dulu ya, Bu,” ucapnya seraya siap-siap berlari, dan pluk!! Kantong belanjaannya ia tinggalkan begitu saja dan ia telah bergumul riang dengan hujan-hujan. "Tuh kan...” keluh ibunya. Ia hanya mampu menatap anaknya yang berlari-lari riang mengejar hujan dengan menggelengkan kepala. ** “Hujan lagi ya?” Tere mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari jendela kamar yang telah dihuni sepuluh tahun terakhir. “Akhir-akhir ini memang sering hujan. Padahal masih bulan masih belum musim penghujan. Musim sepertinya mulai bergeser ya..” gumam perempuan setengah baya disamping tempat tidur Tere. Lalu ia mengambil semangkuk bubur yang mulai dingin, bersiap menyuapkannya. “Bu..” “Ya?” “Bermain hujan itu rasanya seperti apa ya?” Tangan perempuan itu langsung berhenti. Diletakannya kembali sendok berisi bubur yang sudah siap untuk di suapkan pada gadis di depannya. “Bikin pusing, Re. Kemarin saja Ayahmu hujan-hujanan langsung masuk angin. Ibu disuruhnya mengeroki. Ah, padahal tangan ibu sudah pegal setelah mencuci,” kata Ibunya seraya memijit mijit tangannya, berpura-pura merasakan sakit. “Tapi dulu Tere bandel ya Bu? Tidak mau berhenti bermain hujan sebelum bibir Tere biru? Padahal setelahnya Tere akan sakit demam, dan lagi-lagi Ibu yang repot,” kata Tere lirih. Seperti berkata pada dirinya sendiri. “Tere..,” “Tapi Tere ingin lagi Bu. Tere ingin bermain hujan lagi. Tere ingin mengejar katak di pekarangan. Atau melumuri baju Tere dengan lumpur. Tere ingin Bu. Meski akhirnya Tere harus Ibu jewer, meski nanti akhirnya Tere harus demam,” kata Tere sedikit terisak. Gadis berusia tiga belas tahun itu memeluk Ibunya yang terlebih dulu menangis. Kali ini, jika bisa tidak ada yang akan melarangnya. Tidak jika ia bisa. Tidak akan ada pula yang menyalahkannya meski harus berpuluh-puluh kantong belanjaan yang di campakannya. Tidak ada yang akan menyalahkan hujan, ketika akhirnya ia demam dan menggigil kedinginan. Tidak ada. Sungguh tidak ada. Tapi apakah kini mereka harus menyalahkan penyakit kangker yang dialami Tere sejak ia menginjak usia ketujuh? Sejak terakhir ia menikmati hujan. Tidak. Ia tidak akan menyalahkan siapapun. Ia tidak akan mengutuk siapapun. Tidak hujan ataupun kristal-kristal bening yang mengalir dari lagit. ** “Tere..!” wanita muda berusia sekitar tiga puluh tahun yang masih mengenakan celemek bernoda tepung dan minyak langsung menatap gadis kecilnya galak. Tapi yang dipanggil tidak juga bergeming. Asik melompat-lompat diantara genangan air hujan yang masih turun sangat deras. Mengejar katak-katak kecil. “Tere, apa yang kamu lakukan. Pulang sekarang juga,” teriaknya sekali lagi. Suaranya lebih keras dan mengandung amarah yang lebih besar. “Kataknya lucu-lucu, Bu,” kata gadis berusia tujuh tahun itu dengan suara yang bergetar. Tubuhnya sudah basah kuyup dan badannya menggigil. Bibirnya biru, namun bocah itu tetap saja tidak perduli. Katak-katak di depannya sungguh lucu. Seperti mengejeknya. Gemas ia mengejar mereka. Ia sama sekali tak memperhatikan Ibunya di beranda dengan raut wajah yang mengerikan. Ah, paling Cuma di jewer. Begitu katanya dalam hati. “Tere. Sudah mainnya!” kata ibunya lagi. Gemas juga ia melihat anaknya tak mengidahkan seruannya. Akhirnya ia memutuskan untuk menyusul anaknya yang semakin kegirangan mengejar katak. Tak perduli hujan yang benar-benar deras. “Tere..ayo sudah mainnya. Nanti kamu sakit,” katanya seraya menggandeng tangan anaknya yang tengah memegang seeor katak yang berhasil di tangkapnya susah payang. Karena sentakan yang tiba-tiba itu, pegangan tangan Tere menjadi kendor. Kataknya lepas. Melompat-lompat menjauh. Jera, tak mau lagi dekat-dekat dengan Tere. Berbahaya. “Yah, Bu. Jadi lepaskan kataknya. Padahal Tere sudah susah payah menangkapnya,” kata bocah kecil itu tak perduli pada Ibunyayang basah kuyup karena terpaksa ikut hujan-hujanan demi menyusul anaknya, dan ia pun berontak berusaha melepaskan pegangan tangan Ibunya. Bersiap-siap mengejar katak kembali. “Tere! Sudah! Ayo masuk rumah!” Ia mengencangkan pegangannya. Menyeret tubuh kecil Tere. “Ah, Ibu, kataknya belum tertangkap,” “Tere. Hujan. Lihat badan kamu. Sudah kotor, dingin sekali, ayo masuk. Besok baru main lagi.” Dengan sekuat tenaga ia menyeret tubuh anaknya yang terus berontak. “Tapi Bu, Tere...” Tiba-tiba tubuh itu lemas. Tak kuat lagi melawan. Kekuatannya hilang tiba-tiba. Badannya roboh. Menimpa genangan air hujan. Ibunya langsung panik. Terpaksa ia membopong tubuh anaknya dengan susah payah. Segera di letakannya di atas sofa di ruang tamu. Segera mengambil air hangat di dapur. Segera mengelap tubuh anaknya. Segera menelpon dokter keluarga. Segera mengganti baju anaknya. Segera mengambil minyak kayu putih. Segera dan segera. Tapi anaknya tak juga sadar. Hingga dokter tiba. Hingga suaminya pulang. Hingga keesokan harinya, anaknya tak juga sadar. Anaknya seperti tertidur pulas. Hanya saja tak mau di bangunkan. Mungkin ia mati suri. Terpaksa Ia membawa anaknya kerumah sakit. Belum ada diagnosis pasti. Hanya spekulasi bahwa anaknya terlalu lama bermain hujan. Tapi apakah harus seperti itu. Pingsan dan tak sadarkan diri hampir duapuluh empat jam? Hujan diluar kembali turun. Lebih deras dan lebih deras lagi. Dirinya yang kalut tiba-tiba mengutuk. Bukan pada siapa pun, tapi pada hujan yang turun ke bumi, dan langit, seperti dadu yang dilemparkan ke atas, seperti doa yang dipanjatkan oleh manusia-manusia yang teraniaya, semua benar-benar jelas. Hujan tak akan menemui anaknya lagi. _END_




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline