Lihat ke Halaman Asli

Senja Ramadhan di Kolong Langit

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ibu, hari ini kita buka sama apa?"

Ah, andai saja bisa memilih, tapi ini bukan pertanyaan atas sebuah pernyataan yang telah tersedia, tapi ini adalah pertanyaan atas ketiadaan, dan aku hanya bisa tersenyum sambil terus mengemasi penyambung nyawaku yang aku temukan. Kardus-kardus kosong tumpuan hidup kami hari ini. Tapi sepertinya harta karun ini belum cukup untuk mengganjal perut yang sewaktu-waktu minta diisi. Apa-apa sekarang mahal. Ah, tapi kenapa harta karunku ini tak bisa terjual mahal?

"Ibu, kemarin Ayi lihat ada yang bagi-bagi kardus putih di persimpangan. Bu, nanti kita kesana ya," rajuk anak semata wayangku, bocah kecil berusia delapan tahun yang menjadi alasanku untuk tetap berusaha hidup hari demi hari.

Ia menatapku. Ah, indah binar matanya. Masih bening sebening embun pagi. Andai dia tak terlahir disini, kolong langit yang sering mempersembahkan hujan mengguyur, mengigilkan badan, panas matahari yang terik, dan asap menyesakan dada. Mata indah itu pasti akan sangat dikagumi. Aku mengangguk. Ada harapan untuk sore nanti.

**

Tiga puluh menit lagi. Kulihat jam di toko tempat biasanya aku meminta harta karunku. Tapi ternyata hari ini harta karunku tak aku jumpai. Hanya senyum ganjil yang aku terima dari si empunya toko. Dia tak pernah bicara sepatah katapun denganku. Hanya tangan dan kakinya yang bergerak seperlunya. Sungguh enak hidupnya. Hanya duduk dibelakang meja, tapi sudah mendapatkan uang. Ah, lalu bgaimana hidup orang-orang diatas sana yang berebut mendapatkan meja dibangunan yg sangat luar biasa itu. Aku tak mampu memikirkannya.

"Ibu, kardus putihnya sedang dibagi. Ramai sekali disana. Ayo Bu, nanti ngga kebagian,"ucapnya penuh semangat. Ia menarik tanganku erat, dan aku hanya mengikutinya. Namun dihatiku juga tak kalah semangat. Perutku sudah berteriak minta diisi, tak mungkin aku abaikan. Kami berlari-lari kecil, dengan bayangan sekardus makanan lezat yang akan kami nikmati sore ini. Ah, lama sekali lidahku tak dirasai rasa-rasa sedap. Seringkali hanya aku temuai rasa hambar nasi dari beras untuk si miskin dan taburan kristal putih bernama garam.

"Ibu, ayo, disana," Anakku menunjuk kerumunan orang-orang. Aku kenal banyak dari mereka, si Ibang pengumpul harta karun TPA, Si Sumi, musisi yang sering konser ditemani lampu merah kuning hijau, dan masih banyak lagi tetanggaku di kolong jembatan. Mereka antri dengan manis didepan seorang wanita muda yang begitu cantik dan anggun. Kulitnya putih, bajunya bagus, Senyumnya mengembang ramah. Ah, inikah malaikat itu?

"Ibu, ayo!" Ayi menarikku mendekati kerumunan itu.

“Tentu, ayo nak, kita bertemu dengan malaikat itu dan doakan yang terbaik untuknya,” kataku dengan senyum mengembang.

"Ibu, maaf. Kami mau mewawancarai ibu ya," seseorang tiba-tiba mencegatku. Ia mengenakan tanda pengenal yang menggantung di lehernya. Sebuah microphone tergenggam di tangan kanannya. Dia ditemani seorang lelaki muda yang membawa benda hitam dengan ujung kaca dipundaknya, yang biasa mereka sebut kamera.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline