Dalam dunia kripto, akan ada sebuah revolusi besar yang dicanangkan terwujud pada bulan Juli nanti. Apakah itu?
Sebelum kita bahas lebih lanjut, alangkah baiknya kita mulai dengan perlahan. Rileks! And enjoy a cup of tea!
Teknologi Blockchain dimulai dengan Bitcoin yang pada awal peluncurannya digadang-gadang akan menjadi solusi keuangan di masa depan nanti. Tidak sedikit yang meragukan hal itu, dan banyak juga yang memilih untuk percaya. Bahkan beberapa yang menilainya sebagai SCAM, ancaman, dan banyak hal negatif menimpa Bitcoin.
Tetapi pada akhirnya, kita dipaksa untuk percaya bahwa Bitcoin telah menunjukan jati dirinya melalui proses yang tak mudah. Kita bisa melihat harga Bitcoin telah naik hingga mencapai puncaknya di harga 800 juta lebih pada Mei 2021.
Namun dibalik puncak yang tinggi itu ternyata terdapat kelemahan.
Dalam setiap perkembangannya, sebuah teknologi Blockchain wajib memiliki kecepatan tinggi yang terdesentralisasi, privasi dan keamanan yang kuat, serta fee yang murah.
Sehingga beberapa tahun ke belakang Ethereum dengan DEX (Decentralize Exchange) mampu menangani transaksi Blockchain yang telah sesak di dalam jaringan Bitcoin. Pada saat itulah banyak transaksi yang berpindah ke DEX dalam jaringan Ethereum ini, karena memiliki kecepatan dan biaya lebih murah. Akan tetapi pada akhirnya, DEX pada jaringan Ethereum ini pun tak mampu menangani kepadatan transaksi pada masa sekarang ini, kita dipaksa harus membayar fee yang lebih mahal untuk transaksi yang lebih cepat, walau kata cepat tersebut dalam artian yang masih cenderung subjektif. Penyebab utama naiknya biaya fee dan melambatnya kecepatan pada DEX ini tak lain adalah semakin banyak orang yang masuk ke dalam dunia kripto, dan tentu saja sudah banyak pula orang yang menunggu solusi selanjutnya.
Tak sedikit yang mencoba, namun berujung pada fee yang begitu mahal dalam setiap transaksi.
Pada tahun 2020, Sean Ryan yang merupakan seorang berpengalaman dalam mengelola aset digital membentuk sebuah tim untuk mewujudkan suatu proyek Blockchain baru yang akan menjadi solusi super agnostik dalam memecahkan masalah teknologi blockchain tersebut. Sebut saja Glitch, proyek revolusioner dengan simbol GLCH ini mengusung teknologi GEX dan Glitch Bridge yang mampu menandingi DEX pada jaringan Ethereum dalam waktu dekat dan bisa memindahkan aset ERC20 dalam jaringan Ethereum ke BSC dan sebaliknya, dimana teknologi sekarang belum ada yang dapat melakukan itu karena dalam teknologi lama memindahkan aset harus dalam satu jaringan yang sama.
Di website resminya (glitch.finance) GEX pada jaringan Glitch ini mampu memproses minimal 3000 transaksi per detik, dengan fee yang begitu murah dan tentu saja belum ada yang menandingi hingga artikel ini dibuat. Sadar akan potensi tersebut, banyak pihak ramai-ramai bergabung dalam komunitas Glitch di Telegram yang kemudian disebut Glitcher.
Namun siapa sangka, beberapa tim pengembang Glitch berasal dari Indonesia, seperti Cecillia Paskah sebagai Indonesian Lead, dan Wisnu Wijaya sebagai Desian Lead. Hal itulah yang meningkatkan pertumbuhan komunitas Glitcher melalui channel telegram Glitch Indonesia serta di dorong dengan keberhasilan Glitch listing di Indodax sebagai aset investasi yang harganya diperkirakan akan meledak ketika mainnet-nya diluncurkan pada Juli nanti, namun sepertinya di akhir bulan Juni ini menurut roadmap yang penulis baca, Glitch akan segera meluncurkan testnet miliknya.