Lihat ke Halaman Asli

Zida Sinata Milati

Freelancer, Content Creator, Writer

Empat Aspek yang Membutuhkan Perhatian dalam Program "Makan Bergizi Gratis"

Diperbarui: 13 Juni 2024   01:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Anak Sekolah Sedang Sarapan Bersama | myhealthyschool.com

Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, memberikan sebuah program kerja yang sampai kini membekas pada ingatan masyarakat, yakni program makan siang gratis yang ditujukan untuk seluruh anak Indonesia, baik yang masih dalam kandungan ibu sampai berada di usia sekolah.

Setelah keduanya terpilih, rakyat tentu mulai menyodorkan pertanyaan, kapan mulai realisasinya? siapa sajakah yang mendapat program? bagaimana distribusinya? Dan rentetan pertanyaan lainnya. Lantas baru-baru ini, Prabowo Subianto mengoreksi istilah makan siang gratis dengan makan bergizi gratis, yang mana jam makan tidak terpaku pada waktu siang hari, namun lebih fleksibel mengikuti jam belajar anak sekolah.

Tentu saat ini adalah waktu yang tepat bagi pemerintahan mendatang untuk menelaah dan bersiap terkait program Makan Bergizi Gratis. Pasalnya, program ini merupakan kabar gembira bagi masyarakat penerima bantuan, disaat banyak kebutuhan pokok terus-menerus merangkak naik. 

Mungkin sudah banyak artikel lain dengan penjelasan lebih runtut dan detail terkait tantangan, manfaat program, perlunya kerjasama lintas sektor, skema penyaluran yang efektif, inovasi menu yang cocok untuk anak sekolah, dan sebagainya.

Oleh karena itu, saya ingin berfokus terhadap aspek-aspek yang ada pada menu program makan bergizi gratis, seperti penentuan kebutuhan gizi, menu makanan yang disajikan, dan juga kemungkinan food waste yang timbul juga cara pencegahannya. Semoga ada manfaatnya.

Penentuan Kebutuhan Gizi Siswa Penerima 

Sasaran program makan siang gratis memang belum ketok palu, namun berdasarkan apa yang disampaikan Prabowo saat debat capres lalu, kiranya program beliau akan menyasar pada ibu hamil sampai anak usia sekolah termasuk santri pondok pesantren.

Lalu penentuan kebutuhan gizinya juga tidak bisa disamakan, karena perhitungan kebutuhan gizi membutuhkan pertimbangan jenis kelamin, usia, berat dan tinggi badan, juga tingkat aktivitas fisik harian. Bahkan dalam satu kelompok yang sama, misal pada kelompok anak usia sekolah dasar kelas 3, pun kemungkinan besar terdapat perbedaan.

Jika pemerintah diminta untuk melakukan perhitungan kebutuhan kalori dan zat gizi setiap individu, tentu akan memakan waktu panjang dan rumit. Ada alternatif penggunaan AKG (Angka Kecukupan Gizi) Permenkes RI tahun 2019, yakni kecukupan rata-rata gizi sehari bagi semua orang sehat di Indonesia.

Namun perlu diketahui, AKG ini diperuntukkan pada kelompok masyarakat yang memiliki berat dan tinggi ideal, yang bisa dipastikan kelompok tersebut memiliki indeks massa tubuh (IMT) normal sehat. Lalu bagaimana dengan kasus malnutrisi dan obesitas misalnya, tentu penggunaan tabel AKG kurang tepat jika digunakan, melihat keduanya memiliki fokus dan tujuan berbeda dalam pemberian dietnya.

Malnutrisi atau kekurangan gizi pada anak, menyebabkan adanya gangguan dalam pertumbuhan, bisa berukuran lebih pendek dari teman seusianya, disebut stunting, ataupun memiliki tubuh kurus meski memiliki tinggi badan normal seusianya atau disebut dengan istilah wasting.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline