Lihat ke Halaman Asli

Zia Mukhlis

Pemerhati Pendidikan dan Sosial Budaya

Patah Hati yang Menyadarkan

Diperbarui: 21 Agustus 2018   08:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bila hati adalah tempat berteduh bagi perasaan, maka ia akan hidup dengan subur. Melindungi cinta dari kecemburuan, dan mengatapinya dari hujan kesendihan. Bangunan yang kokoh lagi tegar di setiap saat dan tempat. karnanya insan menjadi hidup.

Ketika purnama mulai memancarkan indahnya, ketika jangkrik menyanyikan liriknya, dan ketika manusia lelap dalam mimpinya. Saat itu seorang pemuda sedang mengukir sajak pada bukunya, isinya adalah pujian dan rasa kagumnya pada dunia. Mulai dari alam nan indah mengalir sungai di bawahnya, pegunungan yang memagari kampungnya, satwa yang beraneka ragam dan warna, manusia yang berbudi luhur, hingga kembang desa yang membuat fokusnya hilang.

Kemana ia melangkah seolah dari kejauhan tampak melintas sang pujaan hati, saat melihat langit awan tampak melukis wajahnya, dan saat berkedip hanya gadis itu yang membayang. Oh pemuda yang baru merasakan perasaan, perasaan yang aneh baginya, cenat-cenut tiada tentu. Kepada siapa ia hendak berkisah.

Pada sajak-sajaknya banyak ia berharap semoga gadis itu mau bersamanya, memadu kasih dan berbagi perasaan. Hingga hatinya meluap dan tak tertahankan lagi. Dengan gigih ia berusaha mendekat dengan si gadis, 3 tahun di SMA masih membuatnya tak berani mencurahkan isi hatinya, walau telah satu organisasi yaitu Osis, tetap hatinya masih kelu untuk terbuka, padahal pemuda ini adalah Ketua Osis dan si gadis adalah sekretaris. Memang rupa gadis ini manis dan cantik, belum lagi pribadinya yang mandiri, banyak  siswa laki-laki yang melirik. Namun orang segan untuk mendekati si gadis karena tahu bahwa ada Ketua Osis yang juga mengejarnya, sayangnya si gadis terlalu sibuk hingga perasaan sang ketua tak terbaca olehnya.

Di sebuah senja, kala sinar mentari menembus jendela ruangan Osis, saat semua anggota telah pulang, tinggallah mereka berdua di dalam ruangan. Tak ada yang berbicara, keduanya hanya terdiam menunggu apa yang terjadi, pemuda ini masih kelu hatinya untuk terbuka, susah sekali ia memilih kata yang pas dan baik, hingga dengan memaksa lidahnya ia berbicara bahwa ia menyukai si gadis, telah lama ia menyukainya dan baru kali ini bisa ia ungkapkan, kata-katanya terbata-bata dan ragu-ragu, hilang sajak yang selalu ia tulis dalam catatan si kesunyian malam.

Sungguh perempuan yang dirinya penuh dengan perasaan, sedangkan laki-laki yang hidup dengan logika dan realistis akal. Si gadis tampak tenang sekali, raut mukanya tak berubah, jauh berbeda dengan si pemuda yang begitu cemas, jantungnya tak berhenti berdegup kencang. Keduanya sama-sama terdiam, menunggu apa yang akan keluar dari mulut si gadis. 

Si gadis mengambil nafas yang dalam lalu menghembuskannya, lalu memulai berbicara, tutur katanya sangat tenang, pertama ia menghargai perasaan si pemuda yang menyukainya, dan juga salut dengan kejujurannya. Hingga disana nafas si pemuda tertahan, lalu degup jantungnya memukul dengan keras, seolah degup itu terdengar di telinganya. 

Kemudian si gadis pujaan hatinya ini melanjutkan perkataannya, "akupun selalu terkagum denganmu, posisi ketua Osis sangat pantas olehmu dan banyak pencapaian yang telah kita lakukan, aku yakin ada banyak siswi perempuan yang suka dan mengagumimu salin aku, pribadi yang baik dan sopan ada padamu, tulisan-tulisanmu amatlah indah, mengena dan menyentuh perasaan yang membacanya... dan aku terkejut ketika kau menyukaiku dan menyampaikannya padaku... tapi maaf, aku tak memiliki perasaan sedikitpun padamu, aku memang mengagumimu namun itu hanya sebatas kagum dan tak lebih, yaa tak lebih sedikitpun. 

Aku menganggapmu hanya sebagai ketuaku... aku tak bisa memaksakan perasaanku padamu karena memang ini yang kurasakan, kau telah jujur padaku, maka akupun akan jujur padamu, dan inilah kejujuranku. Maafkan aku yang belum bisa menerima perasaanmu, maafkan aku yang telah membuatmu menyukaiku... aku hanya bisa menganggapmu sebagai teman... sebagai sahabat, karena kita telah pernah berjuang bersama di sini".

Keduanya kembali berada dalam diam, si gadis telah menyudahi kata-katanya dan menunggu respon dari si pemuda. Si pemuda masih mencerna apa yang ia dengar, seolah bukan ini yang ia harapkan, pandangannya tiba-tiba gelap, hampir ia kehilangan kesadarannya dan jatuh dari tegaknya. Kembali ia kuatkan dirinya. 

Seperti orang terkena petir, mematung dan membisu. Ia coba untuk berbicara namun lidahnya terasa pahit, belum lagi hatinya serasa ditikam besi, pedih, pilu dan tak berdarah. Masih belum percaya dengan apa yang ia dengar, kembali ia tatap gadis yang ia anggap sebagai pujaan hati, namun dari raut mukanya tak perlu ia bertanya lagi. Si pemuda tersenyum dan menjawab tak apa-apa, meski ia berkata begitu namun hatinya menolak. Setelah itu si gadis meminta izin untuk pulang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline