Lihat ke Halaman Asli

Keterbatasan Bukan Alasan

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hidup di desa dengan lingkungan yang natural, dengan keterbatasan kondisi adalah anugerah tersendiri. Bahwa setiap individu sudah disetting dengan sangat bagusnya oleh Yang Kuasa. Tidak ada yang kusesali dari kondisi ini. Betapapun beratnya, ini jalanku. Dan aku telah memilihnya dengan bangga. Aku tidak menebak masa depan. Dulu setelah SMA, pertengahan Juli 2005 aku sangka hanya sampai di sana pengalaman bangku sekolah kudapatkan. Tidak terpikir bisa kuliah, tidak terpikir jadi guru, dan tidak terpikir akan seperti ini. Tahun tersebut aku ke Jakarta bersama kakak, mencari pekerjaan di sana. Di desa tidak bisa menjanjikan masa depan. Paling banter nanti dinikahkan, dan bubarlah segala cita-cita dan harapan. Jakarta. Gadis desa dengan mimpi yang buram, akhirnya menikmati udara Jakarta. Udara yang sama sekali berbeda dengan di desa. Dan ini tak nyaman. Sama sekali tidak. Aku tidak menyukai keramaian, berdesak-desakan, saling mengumpat di jalanan. Ini mungkin karena tidak terbiasa. Ini iklim yang baru buatku. Bekerja di perumahan kawasan Jakarta Timur membuatku paham. Manusia adalah pembelajar, di sinilah aku belajar banyak hal. Tentang karakter orang urban,  tentang lingkungan perkotaan, dan segala hal yang terkait dengannya. Bergaul dengan banyak orang membuatku paham. Ini dia kota yang sibuk. Pekerjaanku memang unik. Pagi-pagi masak (nyuci, en bersih-bersih juga.. :) ) buat majikan, habis itu ngurusin akuntansi dan perpajakan kantor yang dikelolanya. Kadang negosiasi harga dari barang yang dibeli kantor. Kadang-kadang ikut meeting juga. Hehe... Akhir pekan ikut kursus Akuntansi dan Perpajakan yang dibiayai oleh majikan. Lumayan asyik juga. Sayangnya semua tidak memberikan ketenangan batin. Ada hal-hal yang tak kusuka dari praktik-praktik di kantor. Semisal membuat laporan keuangan dengan dua model, satu asli sedangkan satunya untuk manipulasi agar pajak kantor nihil. Mungkin ini biasa di sana. Sangat biasa praktik semacam ini dilakukan oleh perusahaan. Mungkin saja. Tapi tidak ada yang bisa memungkiri, ada tekanan batin saat membuatnya. Bukan ketakutan akan ketahuan orang, tapi lebih ke arah Nya. Bukankah Ia Maha Melihat. Tidak bisa menahan gejolak remaja yang idealis ini :), akhirnya aku kabur dari sana. Lucu kalau teringat masa ini. Haha...Maklum masih baru lulus SMA, belum dewasa. Aku memilih bekerja di rumahan sebagai pembantu, tapi memberi ketenangan tersendiri bagiku. Pagi-pagi sudah bangun, kadang nyuci mobil. :) Ini berlangsung beberapa bulan. Akhirnya memutuskan pulang ke kampung halaman. Tidak ada pemikiran tentang pekerjaan, tentang kuliah, semuanya blank. Mungkin di sinilah takdirku: di desa dengan kesejukan udara pagi, angin gunung yang ramah. Aku bergaul kembali dengan warga desa yang lugu. Kunikmati tanpa beban dengan membantu mengajar di TPA. Tak ada sebulan menikmati suasana desa, guruku dulu di MTs (sekaligus Kepala Sekolah di sana) mengajakku mengabdi di sekolah tersebut. MTs As Salam namanya. Sekolah tempatku dulu menimba ilmu di jenjang pendidikan menengah pertama. Semuanya di luar skenarioku. Padahal aku hampir memutuskan akan mencari pekerjaan di toko-toko. Puji syukur atas karuniaNya. Ini sungguh awal yang baik untukku. Aku bekerja di MTs sebagai pegawai administrasi (TU). Nyaman sekali bekerja di sana. Suasana kekeluargaan terjalin dengan begitu akrabnya. Aku menemukan keluarga. Aku menemukan rumah di sana. Satu tahun kemudian aku dipercaya mengajar Mata Pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi). Awalnya aku menolak, karena tidak Pede. Siapalah aku, toh aku cuma lulusan SMA, batinku berkata begitu. Tapi dukungan dari Kepala Sekolah yang tak tega aku rusak, akhirnya kuterima juga tawaran tersebut. Dan memang sesuatu ketika diusahakan dipelajari pasti bisa juga. Tinggal seberapa kuat keinginan untuk bisa tersebut mempengaruhi kita. Kulalui masa-masa mengajar, atau lebih tepatnya masa belajar itu dengan luar biasa enjoynya. Di desa juga akhirnya jalanku. Saat ini aku sedang menempuh kuliah semester VII di salah satu perguruan tinggi swasta di Ponorogo. Menikmati angka-angka di jurusan Matematika. Belajar sambil bekerja. Bekerja sambil belajar. :) Keterbatasan biaya yang kutakutkan di awal masa perkuliahan memang menghantui, tapi tidak sehoror yang dibayangkan ternyata. Walaupun orang tua tidak bisa membantu secara materi, tapi dukungan mereka dalam menjalani kehidupan ini sangat mencerahkanku. Senyum mereka menyambutku pulang membawa rasa lega tersendiri. Begitu pula dengan teman-teman kampus yang luar biasa kompaknya, menambah limpah ruahnya syukurku. Thank for everything, God...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline