Pernah buku saya baca, yang tebalnya melebihi muka, yang beratnya menyaingi beban hidupku. Buku-buku yang bagiku memberatkan, tidak hanya untuk dibaca, melainkan sekedar untuk dilirik isinya. Sejak kecil, kita diajarkan membaca terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan menulis dan berhitung. Membaca sudah jadi kurikulum kehidupan yang tidak dapat dilompati prosesnya. Agamaku juga mengajarkan, pentingnya membaca, bukan hanya tulisan atau ayat-ayat suci, makna membaca lebih kompleks dari sekedar itu semata.
Selera menulis umumnya tumbuh dari membaca buku-buku yang serupa, misalnya dengan membaca novel Tere Liye mungkin seseorang akan terinspirasi untuk membuat karya. Namun, bagi saya yang dahulu enggan membeli buku untuk dibaca, minat menulis tumbuh dari dimensi pengalaman ataupun keseharian. Bukan dari buku, novel, atau sajak puisi yang terkenal dan dibicarakan orang-orang. Menulis justru jadi motivasi saya untuk membaca, memperkaya diksi atau pemilihan kata, juga untuk menyegarkan ide, meningkatkan kepekaan rasa.
Salah satu yang menginspirasi, sosok penulis puisi dengan sajak yang sederhana dan mudah dipahami. Seorang Joko Pinurbo hadir ditengah pagebluk menggebuk. Beliau mengajak khalayak piknik ditempat yang salah, menyerukan ruang-ruang diskusi yang maya, membisikkan bahwa punggung bunda memikul beban negara. Puisi beliau menemani kesendirian saya diantara dialog virus yang merajalela. Makin terlarut, kerap saya ulangi tiap lembar halamannya, hanya untuk meresapi tiap makna dari tiap kata.
Saya berpetualang dalam sajak-sajak yang kekinian, sesuai dengan keadaan yang kita semua rasakan. Deretan bait yang menyekik, memaparkan konflik namun dikemas sopan dan apik. Ilustrasi yang tidak perlu revisi, sastra dan seni menyatu dalam satu buku itu. Judul boleh salah piknik, namun isinya sama sekali bukan hanya soal piknik, terlebih yang membaca adalah kaum kurang piknik, jangan banyak berharap, kita tidak boleh mudik.
Disamping menulis, saya juga lebih berani berekspresi setelah membaca karya-karya mbah Jokpin. Bahasa yang ringan dengan penyampaiannya yang membumi membuat saya bisa mengemukakan rasa-rasa yang tercipta dari sajak ataupun tulisan yang dibaca. Hal-hal yang membangun kecintaan saya terhadap puisi sastrawan adalah dimana ketika saya dapat mengambil sedikit banyaknya kandungan pesan kesan yang mereka siratkan.
Buku jadi salah satu wahana saya untuk mengisi kesepian, pelipur lara diantara kelamnya nestapa. Lembar-lembar yang dipenuhi kata, menjadi pemandangan yang dilahap bulat-bulat dengan mata. Demikianlah sedikit cerita tentang aku, buku, dan petualangan beradaptasiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H