Setahun lebih sejak kasus virus corona 2019 (coronavirus disease 2019/Covid-19) pertama kali ditemukan di kota Wuhan, China. Penularan virus ini mengalami peningkatan secara eksponensial serta sangat sulit dideteksi. Dimana virus ini memungkinkan orang-orang yang tertular dan menularkan tidak menyadari kalau dirinya sudah terinfeksi. Karena penyebarannya yang sangat cepat, diperlukan upaya yang sigap. Hal ini, membuat WHO (World Health Organization) pada tanggal 30 Januari 2020 mengumumkan sekaligus menetapkan bahwa Covid-19 dikategorikan sebagai pandemi global.
Membuat beberapa negara menerapkan lockdown dan menghimbau masyarakat untuk tetap berada di rumah serta melakukan self lockdown (isolasi mandiri). Karena penerapan stay at home dan self lockdown yang dilakukan secara tiba-tiba, mau tidak mau kita memaksakan diri untuk melakukan adaptasi dengan menerapkan berbagai kebiasaan-kebiasaan baru seperti belajar, bekerja dan beribadah dari rumah. Namun, banyak dari kita yang perlu waktu lebih banyak beradaptasi dengan hal-hal tersebut dan sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental kita.
Tekanan Selama Pandemi Global
Mulanya hanya percobaan karantina selama 2 minggu berlanjut hingga lebih dari satu tahun membuat sebagian orang mengalami rasa kesepian, cemas berlebih, tertekan hingga mengalami stress. Stress selama pandemi global ini disebabkan oleh banyaknya perubahan signifikan yang terjadi dalam satu waktu seperti perubahan pola makan, pola tidur yang tidak teratur, serta rasa bosan karena terus menerus berada di dalam rumah.
Kesepian yang disebabkan oleh social distancing yang membuat sebagian orang jauh dari keluarga dan dibiarkan sendiri dengan pikirannya, ditambah lagi dengan banyaknya berita yang simpang siur tentang pandemi yang tak kunjung reda ini menimbulkan perasaan cemas dan khawatir.
Sebenarnya perasaan cemas dan khawatir merupakan hal yang wajar. Karena, pada dasarnya rasa cemas yang timbul akibat kekhawatiran adalah bagian dari respon alamiah yang dimiliki manusia untuk tetap dapat bertahan hidup. Sejumlah kecemasan yang timbul pasti memiliki tujuan, contohnya pada masa pandemi seperti ini tubuh kita menjadi cepat merespon dan lebih mawas diri.
Karena rasa takut itu kita tetap melakukan tindakan pencegahan seperti menerapkan 5M yaitu mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas. Namun, bila rasa cemas dan takut ini berlebihan justru akan berdampak buruk bagi kesehatan mental dan dapat berdampak buruk pada sistem kekebalan tubuh.
Akibat Terlalu Lama Isolasi Mandiri
Bersumber dari hellosehat, Cabin Fever adalah serangkaian emosi negatif dan rasa sedih yang dirasakan oleh orang-orang yang sedang terisolasi atau terpisah dari dunia luar. Kondisi ini rentan terjadi karena kebijakan stay at home yang ditetapkan pemerintah dan WHO untuk mengurangi kasus penyebaran virus corona.
Tanpa kita sadari banyak sekali gejala-gejala cabin fever yang umum kita rasakan contohnya tidak mampu mengendalikan emosi, stress, mudah marah, mudah tersinggung, gelisah, turunnya motivasi, sulit berkonsentrasi, pola tidur yang tidak teratur, mengalami kenaikan atau penurunan berat badan, mudah lemas, serta termasuk rasa bosan akibat kurangnya aktivitas seseorang ketika harus menjalani isolasi mandiri. Rasa malas yang berkelanjutan dan dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama membuat diri kita dapat terjebak dalam cabin fever.
Cabin fever sendiri bukan diagnosis maupun sindrom, jadi tidak memerlukan obat untuk proses penyembuhannya. Sebenarnya, cara yang terbaik untuk mencegah terjebak dalam cabin fever adalah keluar rumah. Namun, karena kita masih berada di tengah-tengah pandemi global kita tidak dapat sembarangan bepergian.