Hari ini krisis iklim telah nyata dampaknya di kehidupan kita. Suhu udara yang semakin tinggi, hujan yang tak kunjung turun, air laut yang semakin naik, kebakaran terjadi di mana-mana, banjir melanda banyak negara, dan sederet hal tidak mengenakkan lainnya telah kita rasakan atau kita dengar kabarnya.
Krisis iklim disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK) yang menyebabkan panas matahari terperangkap di atmosfer bumi. Yang banyak orang tahu, industri dan kendaraan bermotorlah penyumbang emisi GRK tersebut.
Memang betul, tapi ternyata sampah yang kita buang juga melepaskan GRK yang kini terakumulasi di atmosfer.
Bagaimana bisa?
Sampah yang kita buang terdiri dari sisa organik, anorganik, dan residu. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, komposisi sampah organik (sisa makanan, kayu, ranting, daun) sebesar 54% sedangkan sampah plastik sebesar 17,8%.
Sebenarnya sampah organik bisa terurai dan menjadi tanah kembali. Hanya saja, masyarakat Indonesia belum terbiasa memilah dan mengolah sampah. Sampah organik biasanya malah dimasukkan ke dalam plastik dan dibawa petugas ke TPA.
Di TPA pun, sampah organik tetap terpenjara di dalam plastik sehingga terdegradasi secara anorganik. Jutaan sampah organik yang bercampur dengan plastik ini membentuk timbunan sampah di TPA tanpa diolah.
Berdasarkan buku Kontribusi Sampah terhadap Pemanasan Global yang disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, setiap 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kilogram gas metana.
Sedangkan masyarakat Indonesia setiap tahunnya menghasilkan lebih dari 34 juta ton sampah. Artinya, tahun ini saja emisi metana dari timbulan sampah di Indonesia sebanyak 1,7 juta ton!
Padahal, metana memiliki daya rusak 20-30 kali lipat dibandingkan dengan CO2. Saat ini, emisi metana berkontribusi sebanyak 16% dari total GRK di atmosfer dan 12% diantaranya berasal dari timbunan sampah.