Lihat ke Halaman Asli

Zahratul Iftikar

Dokter gigi, ibu 2 anak, pegiat sustainable living, guru tahsin Al-Quran

Gempa Bantul dan Trauma yang Masih Mengintai

Diperbarui: 1 Juli 2023   19:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gempa Bantul tahun 2006 (kompas.com) 

Saya sedang dalam perjalanan pulang dari klinik tempat saya praktek, ketika ban motor terasa bergoyang dan orang-orang berhamburan ke luar ruangan. Mata langsung saya arahkan ke tiang listrik. Oh, semua bergoyang. Pastilah terjadi gempa bumi. 

Sampai di rumah, kerabat dekat sudah ramai menanyai kabar kami di WhatsApp. Ternyata gempa semalam magnitudonya cukup besar, 6,6 SR dan berpusat tidak jauh dari daratan Bantul, DIY. Kedalamannya pun hanya 12 kilometer. Tidak heran getarannya terasa kuat dan lama. 

Twitter @infoBMKG

Diberitakan pula, puluhan bangunan di Bantul, Gunungkidul, Kota Yogyakarta maupun di Sleman rusak karena gempa semalam. Belasan orang dilaporkan luka-luka dan bahkan 1 orang meninggal karena kaget. 

Menjelang tidur semalam, saya tidak bisa tidur. Sebagai penyinyas gempa Bantul tahun 2006, masih ada trauma yang timbul kalau terjadi gempa. Rasanya takut sekali kalau-kalau terjadi gempa besar lagi dan merusak rumah kami. Saya yakin banyak warga Bantul yang juga tidak tidur atau memilih tidur di teras. Memori 17 tahun lalu masih amat jelas tergambar di benak kami. 

17 Tahun Silam

Kala itu, gempa terjadi pukul 5.59 saat orang-orang bersiap-siap sekolah dan bekerja. Getaran terasa kuat sekali hingga menghancurkan 71.763 rumah dan membuat lebih dari 130.000 rumah rusak berat maupun ringan. Korban jiwa mencapai 5.782 jiwa dan 26.299 orang lainnya luka berat maupun ringan.

Sebuah angka yang besar. Yang tidak hanya terasa besar di atas kertas, tapi karena saat itu untuk pertama kalinya saya menjadi korban bencana alam yang masif. 

Tergambar jelas di benak saya rumah-rumah tetangga rubuh rata dengan tanah. Orang-orang berhamburan keluar dengan wajah panik dan ketakutan. Satu dua orang mengucurkan darah di kepala, tangan, atau kakinya. Beberapa orang tertimpa bangunan dan berteriak minta tolong.

Ada pula yang masih berada di dalam reruntuhan dan perlu berjam-jam untuk mengevakuasinya. Sebanyak 11 tetangga kami meninggal dan hampir semuanya kehilangan rumah karena hanya ada 11 rumah yang masih tegak berdiri. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline