Lihat ke Halaman Asli

Susanti Susanti

Apoteker Susanti

Dagusibu Obat Kesehatan Jiwa dengan Baik dan Benar

Diperbarui: 23 November 2019   13:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasien Berkonsultasi dengan Psikiater (Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia)

Mengapa sudah minum obat beberapa hari tetapi belum ada perubahan ya? Apakah obat ini harus diminum seumur hidup? Ini adalah dua contoh pertanyaan yang sering dilontarkan oleh pasien ataupun keluarga penderita gangguan jiwa. Selain itu, juga ada banyak masalah lain yang dihadapi pasien ataupun keluarganya selama pengobatan. Mari, ajak penderita gangguan jiwa untuk pintar tenggak obat.

 

Dapatkan Obat Kesehatan Jiwa dengan Baik dan Benar

Dapatkan Obat dengan Baik dan Benar (Sumber: Halo Apoteker Indonesia)

Siapa yang ingin sakit? Tentu tidak ada. Penderita gangguan jiwa juga tidak ingin. Selanjutnya, bila ingin berkonsultasi, kepada siapakah penderita gangguan jiwa harus merujuk? Pernah ada penderita yang mengamuk karena tidak memperoleh obat setelah berkonsultasi pada psikolog. Iya, tentu, karena psikolog tidak berwenang untuk memberikan terapi obat. Tetapi, bila penderita gangguan jiwa berkonsultasi pada dokter spesialis kesehatan jiwa (atau disebut juga Psikiater), maka selain psikoterapi, seorang psikiater juga dapat meresepkan obat-obatan untuk pasien yang butuh terapi obat.

Namun, terkadang ada penderita susah dibujuk untuk berkonsultasi pada ahlinya. Salah satu penyebabnya adalah masih tingginya stigma masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa. Padahal, bila mendapatkan penanganan sejak kondisi penyakit masih ringan, penderita juga dapat bersosialisasi dan beraktivitas normal dan produktif kembali. Oleh karena itu, sering juga dijumpai keluarga yang memperantarai konsultasi pasien dengan psikiater, kemudian obat yang diresepkan tersebut diupayakan berbagai cara agar dapat dikonsumsi oleh pasien.

Ada juga penderita yang berinisiatif sendiri atau disadarkan oleh kerabat untuk berkonsultasi pada psikiater. Sekalipun anak-anak atau lanjut usia (berumur diatas 60 tahun) juga dapat mengalami gangguan jiwa, maka dokter akan meresepkan obat yang sesuai dengan kondisi pasien dan dosis yang sudah terbukti aman dan efektif berdasarkan penelitian ilmiah.

Obat-obat untuk kesehatan jiwa bekerja dengan memodifikasi pengiriman neurotransmiter, yaitu zat kimia yang dilepaskan dari ujung saraf untuk membantu membawa pesan dari suatu sel saraf ke sel lainnya. Obat-obatan tersebut tergolong dalam Obat Keras yang hanya dapat dibeli dengan resep dokter di apotek maupun instalasi farmasi rumah sakit atau klinik.

Bagaimanapun, obat hanya mengobati gejala, bukan menyembuhkan penyakit kejiwaan. Solusi yang paling ampuh untuk menanganinya adalah meretas penyebab psikis dari gangguan jiwa tersebut.

 

Gunakan Obat Kesehatan Jiwa dengan Baik dan Benar

Gunakan Obat dengan Baik dan Benar (Sumber: Halo Apoteker Indonesia)

Terhadap pasien yang menolak untuk menerima pengobatan, maka berbagai upaya dilakukan agar pasien dapat menggunakan obat yang sudah diresepkan. Misalnya, bila ada dua atau lebih obat yang diresepkan, maka diracik menjadi satu kapsul, dan keluarga memberitahu pasien bahwa itu adalah suplemen kesehatan. 

Terdapat juga keluarga yang mencampurkan obat pasien yang sudah dihaluskan ke dalam makanan atau minuman pasien. Ini tentu bukan langkah menggunakan obat yang baik dan benar, karena obat dapat berinteraksi dengan makanan atau minuman tertentu .Cara ini hanya terpaksa agar pasien mendapatkan terapi obat tersebut.

Bila obat diaduk ke dalam makanan pasien, maka harus dipastikan bahwa makanan tersebut memang dihabiskan oleh pasien agar dosis obat yang dikonsumsi pasien adalah tepat. Misalnya, obat dicampur dalam kuah lontong, setelah lontong dan sayur habis, dan ternyata kuahnya tidak dihabiskan, maka bisa jadi obat yang dikonsumsi pasien kurang dari dosis yang seharusnya, sehingga hasil terapi punakan tidak memuaskan.

Pada pasien yang datang sendiri untuk berkonsultasi dengan psikiater, ada yang obatnya dapat dikelola sendiri oleh pasien, dan ada yang membutuhkan pendamping dalam konsumsi obat, yakni biasanya keluarga yang tinggal serumah. Lupa konsumsi obat merupakan salah satu kekeliruan tidak disengaja yang kerap terjadi, sehingga alarm obat sangat penting bagi pasien yang mengonsumsi obat rutin. Kini, hal ini sudah semakin mudah terbantukan oleh telepon genggam yang dapat disetel jam alarm nya setiap saat.

Tetapi, ada juga pasien yang mau konsumsi obat terus-terusan, sehingga menagih obat pada pendampingnya saat bukan jadwal penggunaan obat dan sering membuat pendamping kewalahan menanganinya. Perlu diketahui bahwa, setiap obat diresepkan dengan dosis terapi yang sesuai dengan kondisi pasien. Masing-masing obat memiliki waktu berbeda-beda pada waktu yang dibutuhkan untuk memberikan efek terapi, dan waktu paruh (waktu ketika konsentrasi obat terurai menjadi separuhnya), sehingga jarak waktu untuk menggunakan masing-masing obat juga berbeda.

Ada obat yang dikonsumsi sekali sehari saja pada pagi hari, ada yang sekali sehari pada malam hari. Bila keliru waktu pemakaian obatnya, bisa jadi tidur lelap tidak dapat beraktivitas sepanjang siang hari, atau justru tidak bisa tidur sepanjang malam. Apoteker akan memberitahu aturan penggunaan masing-masing obat.

Dengan demikian, memang banyak masalah kepatuhan obat yang sering dijumpai pada penderita gangguan jiwa. Ada pula pasien yang risi tentang konsumsi obat terlalu lama dapat membebani kesehatan tubuhnya. Tetapi, dalam hal pengobatan, sebenarnya perlu mempertimbangkan mana yang lebih besar antara manfaat dan risiko yang ditimbulkan oleh obat tersebut. Pasien sangat tidak dianjurkan untuk mengatur dosis atau menghentikan obat tanpa konsultasi dokter.

Selanjutnya, perlu diketahui juga bahwa obat untuk kesehatan jiwa ini tidak seperti obat demam atau batuk yang dapat menunjukkan perubahan dalam waktu dua atau tiga hari setelah menggunakan obat. Namun, ada efek samping obat yang dapat muncul pada beberapa hari awal setelah mengonsumsinya. Komunikasikan efek samping yang muncul pada dokter untuk mendapatkan penyesuaian dosis, diresepkan obat lain untuk mengurangi efek samping, atau menggantinya dengan obat lain.

Penelitian menyebutkan bahwa butuh waktu hingga 6 minggu dari dosis pertama untuk mulai mengurangi gejala, dan perlu waktu berbulan-bulan hingga efek yang sesungguhnya. Tergantung keluhan yang dialami masing-masing pasien, lama pengobatan dapat berkisar 1-5 tahun. Bila obat akan dihentikan, maka dokter akan perlahan-lahan menurunkan dosis obat, hingga akhirnya obat tidak perlu dikonsumsi lagi. Bila obat dihentikan secara tiba-tiba, maka akan sangat tinggi risiko kambuh atau menjadi lebih parah. Pasien dengan riwayat kambuh berulangkali, kemungkinan perlu menggunakan obat kesehatan jiwa seumur hidup.

Selainitu, juga perlu diketahui bahwa obat-obatan dapat berinteraksi dengan makanan, maupun obat lainnya. Salah satu interaksi yang harus diwaspadai adalah alkohol, yang dapat meningkatkan efek samping obat pada sistem saraf, jadi jangan mengombinasikan obat dan alkohol ya. Obat sebaiknya dikonsumsi dengan airputih, bukan teh, kopi, susu, ataupun minuman lainnya. Selanjutnya, bila pasien sedang dalam pengobatan kesehatan jiwa, dan ada keluhan lainnya yang perlu menggunakan obat lain, maka perlu memberitahukannya pada dokter atau dokter gigi yang akan meresepkan obat, atau pada Apoteker saat membeli obat lain atau menebus resep di apotek.

 

Simpan Obat Kesehatan Jiwa dengan Baik dan Benar

Simpan Obat dengan Baik dan Benar (Sumber: Halo Apoteker Indonesia)

Simpan obat sesuai dengan petunjuk pada kemasan obat, atau sesuai informasi dari Apoteker. Umumnya, obat kesehatan jiwa yang dikonsumsi secara oral cukup disimpan pada suhu di bawah 30 derajat Celcius, dan terlindung dari cahaya. Selain itu, juga jauhkan dari jangkauan anak-anak, agar tidak dijadikan permen, ataupun mainan.

 

Buang Obat Kesehatan Jiwa dengan Baik dan Benar

Buang Obat dengan Baik dan Benar (Sumber: Halo Apoteker Indonesia)

Bila obat sudah rusak (berubah warna, bau, atau rasa), atau telah terlewat tanggal kedaluarsanya, maka obat tersebut harus dibuang. Pertama, hilangkan label dari kemasan. Ini adalah untuk menjaga privasi data pasien, dan agar obat tersebut tidak disalahgunakan, maupun digunakan secara salah oleh orang lain.

Bila obat berbentuk tablet, hancurkan tablet tersebut, dan bila obat berbentuk kapsul, maka buka cangkang kapsul. Lalu, campurkan tablet yang telah dihancurkan atau isi kapsul dengan tanah, atau ampas kopi dalam plastik, dan buang ke tong sampah. Bila obat berbentuk cair, maka cairan tersebut dibuang ke saluran air bersamaan dengan air yang mengalir, kemudian buang botol obat ke tong sampah.

 

Terapi yang Dapat Diberikan pada Penderita Gangguan Jiwa (Dokumentasi Pribadi)

Akui dan hadapi masalah tersebut, berani mengomunikasikan keluhan yang dialami untuk mendapatkan penanganan yang tepat, serta topanglah diri dengan hal-hal positif  dalam kehidupan. Selain itu, juga perlu diiringi dengan dukungan dari keluarga dan sahabat, serta pola hidup sehat, seperti makanan bernutrisi, dan olahraga yang teratur. 

Bila perlu, konsultasi pada psikiater untuk mendapatkan diagnosis yang tepat, lalu tebus resep obat di apotek atau instalasi farmasi rumah sakit atau klinik, gunakan obat sesuai aturan, kenali dan komunikasikan efek samping yang dialami, simpan obat sesuai petunjuk, buang obat bila sudah rusak atau terlewat tanggal kedaluarsa. Ingat, kalau Soal Obat, Apoteker Ahlinya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline