Menjadi seorang seniman tentu bukan perkara mudah, terlebih jika disandingkan dengan era saat ini. Terkhusus bagi seniman kedaerahan, hal ini menjadi tantangan yang amat sulit. Pekerjaan ini tentu menuntut seorang seniman kedaerahan untuk selalu bisa mempertahakan keasrian dari seni daerahnya. Oleh karena itu, mereka dituntut untuk membudayakan rasa kepedulian dan empati pada kebudayaan di lingkungan sekitar. Mirisnya, pada zaman ini kebudayaan kedaerahan sudah mulai ditinggalkan. Sungguh menjadi sebuah tantangan besar bagi para seniman, tak terkecuali bagi Mohammad Soleh Adi Pramono, S. St, seorang seniman asal Kabupaten Malang.
Mohammad Soleh Adi Pramono lahir pada 1 Agustus 1951 di dusun Wonomulyo, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sejarah singkat mengenai Mohammad Soleh, ia lulus dari Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1965, lalu lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada tahun 1969, dan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) pada tahun 1972. Disinilah awal mula Mohammad Soleh mulai mengenal dan mempelajari seni wayang topeng oleh guru Ki Samoed, Ki Tirtonoto, Ki Rasimoen, Ki Gimoen, Ki Jakimen, Ki Karimoen dan Paryo. Disamping bergelut untuk mempelajari seni wayang topeng ini, ia akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan Konservatori Karawitan Indonesia di Surabaya pada tahun 1976.
Selanjutnya, pada tahun yang sama di 1976, Mohammad Soleh Adi Pramono mulai bekerja di Kantor Kebudayaan Kabupaten Malang dan menjabat sebagai teknisi. Ia bekerja dari tahun 1976 hingga akhirnya berhenti di tahun 1979, karena pada tahun tersebut ia memutuskan untuk mengarungi dunia perkuliahan atau perguruan tinggi di ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta. Dan pada akhirnya ia meraih gelar sarjananya di tahun 1984. Tak sampai disana, nasib baik menyertai Mohammad Soleh. Pada tahun 1984 hingga 1992, ia menjadi seorang dosen FPBS di Ikip Malang. Sembari menjabat sebagai seorang dosen, Mohammad Soleh juga mendirikan sebuah sanggar seni pada 26 Agustus 1989. Keberadaan sanggar seni ini dibuat agar melanjutkan dan juga mengapresiasi sanggar seni yang sudah dijalankan turun temurun oleh kakeknya, Ki Roesman.
Sanggar seni yang dibangun oleh Mohammad Soleh diberi nama Mangun Dharma. Nama tersebut diambil dari sejarah sejarah gubernur patih dari seberang timur (Malang) yang gugur ketika melawan prajurit mataram. Ia dimakamkan di Wanabinangun, Dusun Tulis Besar.
Mangun Dharma ini dibuat untuk mengajarkan tentang Seni Wayang Topeng, Tari, Wayang Kulit, Mocopat Malangan. Yang menjadi unik adalah tak hanya masyarakat lokal, di sanggar seni ini kerap ditemukan mahasiswa asing seperti Amerika, Australia, Inggris, Belanda dan Jepang yang ikut tertarik untuk mempelajari seni-seni asli Indonesia.
Sejauh ini, Mohammad Soleh Adi Pramono telah banyak menyabet apresiasi dari berbagai instansi dari dalam maupun luar negeri dan juga organisasi seni atau kebudayaan. Walaupun kakeknya, Ki Roesman adalah nama yang sangat besar dalam dunia seni, Mohammad Soleh tidak berlindung dibalik kebesaran nama kakeknya. Hal ini terbukti dari usaha dan juga kecintaannya dalam dunia seni yang membuatnya turut andil dan ikut melestarikan budaya Indonesia tanpa dipaksa oleh siapapun. Tentu dengan usaha dan kecintaannya itulah yang membuatnya menjadi besar sampai sekarang, dengan kegigihan inilah semua kerja kerasnya membuahkan hasil.
Lewat cerita ini, tentu kita sebagai masyarakat Indonesia seharusnya lebih peka dan lebih peduli dengan kesenian asli dari Indonesia. Sungguh miris ketika di zaman ini kesenian mulai luntur dan tergantikan oleh modernisasi. Padahal, jika di telaah lebih dalam maka seni maupun budaya Indonesia adalah sebuah aset yang tak semua negara memiliki hal tersebut. Jadi, bagaimana? Apakah kita siap untuk sama-sama melestarikan budaya bangsa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H