Selama kita bergantung pada orang lain berarti kita belum percaya Tuhan. Dalam segala hal, termasuk bila kita mengikuti seseorang yang kita anggap sebagai panutan atau pemuka kepercayaan. Dengan kita hanya mengikuti yang kita anggap sebagai seseorang yang menguasai pengetahuan tertentu berarti kita belum kenal diri sendiri. Bukan kah dalam segala keyakinan atau kepercayaan disebutkan bahwa 'Kenali Dirimu sendiri, baru kau kenal Tuhanmu'
Tanpa sadar kita telah menuhankan orang lain. Kita bisa kenal Tuhan bila kita yakin bahwa dalam tiada sesuatu pun di alam ini bisa bergerak di luar kehendak Tuhan. Semua kitab yang ditinggalkan oleh para orang suci menyebutkan bahwa semua makhluk diliputi olehNya. Kita adalah percikan Hyang Maha Tunggal. Lantas mengapa kita mesti bergantung atas pendapat atau saran orang lain?
Karena kita belum meyakini bahwa Dia Tunggal adaNya. Yang selama ini kita anggap panutan atau memiliki pengetahuan banyak tentang yang dihapalkan dari buku sesungguhnya hanyalah pengetahuan luar atau dari pikiran, bahkan celakanya mereka sering memberikan tafsir sebagaimana yang mereka inginkan. Bukan kah sesungguhnya mereka juga penyembah materi atau pengetahuan dari luar?
Orang seperti inikah yang kita jadikan panutan? Tidak berbeda dengan orang buta percaya pada orang buta. Semestinya langkahnya sebagai berikut. Dengarkan, ujilah, kemudian baru percayai. Kebanyakan dari kita begitu mendengar/membaca langsung percaya tanpa melakukan pengujian. melakukan pengujuan berarti kita periksa kemudian terapkan. Bila bermanfaat bagi diri kita, baru percayai.
Yang saya maksudkan dengan menguji adalah pengetahuan yang kita dapatkan memberikan manfaat bagi sekitar kita, bukan sekadar menguntungkan diri sendiri. Misalnya, kita mendengar bahwa makan daging baik bagi tubuh karena bergizi. Benarkah demikian?
Pertama periksalah tentang korelasi antara pemakan daging dan non. Pada umumnya para pemakan daging memiliki temperamen yang panas. Karena pada saat hewan disembelih, dapat dipastikan mereka tidak rela disembelih untuk dikonsumsi manusia. Banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa pada saat hendak disembelih, sapi mengeluarkan air mata. Tiada satu pun makhluk hidup merelakan hidupnya. Nah, pada saat itu, para hewan ini sangat sedih sehingga memproduksi hormon beracun yang diserap dagingnya.
Sebagai akibatnya kecemasan/kemarahan ini diserap oleh para pemakannya. Yang lucu lagi, ternyata para pemikan ayam juga memiliki kecenderungan bernyali kecil alias penakut. Karena memang ayam sangat penakut. Mereka yang tampaknya pemberani sesungguhnya penakut. Karena rasa takutnya, maka mereka menindas orang lain. Para pemberani berarti berarti bertanggung jawab atas perbuatannya. Sikap berani bukan karena berani nauk motor kencang dengan abai terhadap keselamatan diri sendiri maupun orang lain.
Abai terhadap keselamatan sendiri berarti tidak sadar bahwa tubuh kita diciptakan Tuhan untuk melayani orang lain, bukankah kita sebagai khalifah Tuhan di atas bumi? Sehingga adalah kewajiban kita untuk merawat alam, atau lebih tepatnya melayani alam demi keberlangsungan hidup kita bersama.
Dengan kata lain, sesungguhnya merawat tubuh kita berarti kita menyembah Tuhan, karena tubuh kita adalah kuil Tuhan. Dengan abai terhadap tubuh kita, baik dari kualitas makanan yang bisa merusak tubuh maupun berpikir tentang keburukan atau rasa cemas juga berarti kita tidak menyembah Tuhan yang ada dalam diri kita.
Pemberdayaan diri berarti kita mesti menjaga tubuh kita agar tetap sehat, baik raga maupun mental. Dengan tubuh sehat raga serta mental, kita menyambajh Tuhan dalam diri kita. Janganlah membebani dengan pikiran dengan pengethaun yang tidak bermanfaat bagi perkembangan kesadaran diri menuju penyatuan dengan Hyang Maha Agung.