Lihat ke Halaman Asli

Aqida Izza

resolusi 2020 menulis minimal 200 kata sehari

Kebahagiaan Semu vs Kebahagiaan Hakiki

Diperbarui: 18 Januari 2020   20:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebenarnya topik ini merupakan kegalauan saya dari dulu sejak jaman SMA. Kenapa sebagian besar orang Amerika atau mungkin orang-orang dari belahan bumi lainnya mengidolakan kebebasan / freedom? 

Semakin bebas semakin bahagia. Inilah yang mungkin menginspirasi beberapa orang untuk keluar dari zona aman seperti bergonta-ganti pasangan, berpesta dan bersenang-senang sepuasnya tanpa ada yang mengontrol atau hidup dengan gaya hedonisme. 

Sewaktu SMA saya tahu mencari kebahagian dengan cara seperti ini adalah salah, seperti ada yang kurang, hanya saja saya tidak bisa menjelaskan apa yang kurang karena waktu itu pikiran saya belum bisa menguraikan hal itu.

Beberapa bulan setelah kematian dua orang terdekat saya yakni kakek dan ayah saya, saya mulai menata ulang mindset saya dari anak manja yang tidak tahu harus melakukan apa menjadi seseorang yang berusaha melakukan apapun yang ada di depannya untuk bisa bertahan hidup. 

Hal ini terjadi karena dulunya saya terlalu bergantung kepada ayah dan kakek saya sehingga saya merasa nyaman dan tidak terlalu memikirkan masa depan. 

Saya baru menyadari hal ini (terlalu bergantung pada ayah dan kakek saya) setelah well beberapa bulan setelah kejadian ini tentunya karena penyesalan selalu datang di akhir. Jarak antara kematian kakek dan ayah saya tidak begitu jauh hanya sekitar tiga bulan saja yang membuat saya terus berpikir kenapa ini harus terjadi pada diri saya dan keluarga saya.

Tentunya butuh waktu yang panjang untuk mengatur ulang mindset saya dari yang menyalahkan keadaan sampai pada berusaha untuk memperbaiki keadaan yang ada pada kendali kita, ketika saya benar-benar memutuskan untuk berwirausaha adakalanya saya merasa bahwa saya telah berusaha cukup keras tapi saya merasa masih kurang juga dan hal ini sangat-sangat menyebalkan. 

Saya menjadi pemarah, egois, dan mencari-cari sesuatu untuk disalahkan. Tentunya hal ini berpengaruh kepada orang-orang didekat saya yang merasa bingung dan tidak tahu bagaimana harus menghadapi sikap saya yang seperti itu. 

Sampai akhirnya ada beberapa kejadian dalam hidup saya yang membuat saya berpikir ulang tentang apa sih yang seharusnya saya lakukan di dunia ini. 

Salah satu dari rentetan kejadian itu adalah saat saya menonton youtube Dewa Eka Prayoga yang waktu itu membahas tentang bagaimana dia membimbing salah satu tim marketing dari B erl kosmetik dengan cara-cara yang diluar prinsip-prinsip marketing seperti memperhatikan orang-orang di sekitar kita dan mendoakan mereka yang sedang dalam kesusahan. 

Hal ini sangat-sangat tidak pernah terpikirkan dalam otak saya karena bagaimana saya bisa mendoakan orang lain ketika saya sendiri masih membutuhkan bantuan dengan diri saya yang masih kacau ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline