Lihat ke Halaman Asli

PenaZevanya.

Siswa/Penulis 'Karet, dan Getah'

Sang Sagara Prana

Diperbarui: 11 Oktober 2024   17:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://id.pinterest.com/pin/30117891251453428/

  

  Malam merangkak perlahan, menyelimuti kota dengan citra lembut dan angin yang memanggul aroma hujan. Penerangan kota gemerlapan, seolah bintang-bintang menyusut dan menari di atas trotoar yang lengas. Suzy berdiri di sana, di pusat kerumunan orang banyak yang bergerak selaras irama malam. Mereka menari, tergelak, dan bersama-sama melupakan dunia, seperti kehidupan ini adalah perayaan yang tak pernah berakhir.

  Suzy mencoba keras demi menyusup ke dalam euforia, mengabai dentuman musik nan memeluknya, menggoyangkan tubuhnya dengan kans ia bisa menghalau kehampaan yang tak pernah jauh. Ia tegak di pelosok bar yang penuh sesak, memirsa gelas yang terkepal di tangan dinginnya. Di permukaan berma gelas itu, ia bisa melihat santiran diri'nya'---senyum yang samar, seolah terlukis di satah air dan siap lesap dalam kerlipan sekerdil apapun.

  Dan di inti riak-riak itulah, Nathan nampak. Sosoknya hadir, begitu jelas dalam ingatan Suzy. Matanya teduh, penuh kasih, seakan mengerti apa pun yang Suzy teraikan tanpa perlu berkata. Rambutnya hitam panjang, sedikit berantakan seperti malam yang tak pernah sempurna, tapi justru di sanalah daya tariknya. Selalu ada ketidakteraturan dalam hidupnya, sesuatu yang membuatnya begitu nyata, begitu manusiawi. Senyumnya sehangat kentar mentari pagi di musim hujan, bagai bintang di antariksa Suzy.

  Namun kini, bintang itu hanya hadir sebagai katai putih, sebuah kenangan yang mendamba di tepian malam. Bak jejak kaki di pasir yang ditelan oleh gelombang, ia semakin jauh dari cengkauan. Suzy tahu, figur itu tak akan lagi bisa datang dan berdiri di sembirannya, mengguit tangannya sambil membisikkan kata-kata yang menentramkan resahnya. Nathan telah melangkah jauh, laksana daun menggugur di penghujung musim.

  Suzy berupaya menyandar pada memori itu, walau ia tahu bahwa tangan-tangan kenangan hanyalah ilusi, ibarat mengejar siluet di air. Ia tidak sanggup 'tuk mememencilkan tawa Nathan yang serak dan penuh kehangatan---gelak itu adalah dekapan tak kasat mata yang selalu menyelimuti jiwanya dalam sepi. Ia tak solak bayangan mata Nathan yang selalu menatapnya dengan cinta---cinta yang tulus itu pupus. Ia selalu melawat Suzy seolah ialah satu-satunya yang berwujud di seluruh semesta ini---mungkin pula Suzy lah semestanya..

  Di tengah hiruk-pikuk bar, seorang pria datang, menyapanya dengan seringai lembut dan pandangan yang seolah mengundang Suzy keluar dari keheningan. Suzy melepaskan dirinya dalam dialog singkat nan ringan yang menggerai seperti badai petang---dengan pria itu---yang sekarang ia kenal sebagai Langgana. Mereka tersungging bersama, suara mereka teraduk dalam musik dan riuh di sekitar mereka. Tapi bagi Suzy, tawa itu tak lebih dari gema---ia terdengar, tapi tak pernah benar-benar merawankan hatinya yang menghasratkan hanya Nathan.

  Ia adalah sebuah lagu lama yang terus berpijar di latar belakang, meskipun musik baru terus dimainkan di sekelilingnya. Suzy sadar bahwa ia tak bisa menuai masa lalu bagai meraih kabut pagi yang membubung saat mentari datang. Nathan adalah sesuatu yang telah pergi, seperti pelangi sehabis langit menangis, menyusut seiring waktu. Namun, kehadirannya mencelampakkan jejak yang tak terlihat---bak wangi yang bersarang di bantal, seperti suam yang tersisih di kursi setelah seseorang berdiri.

  Malam itu, di tengah gemerlap lampu dan orang-orang yang berlalu-lalang, Suzy memejamkan mata, mengembara kembali ke masa lalu---di mana dunia terasa sempurna sebab eksistensi Nathan. Kendati hanya sesaat, ia ingin mengenyam kehadiran itu lagi, mengeyam bagaimana sangkala rampung, dan hanya ada mereka berdwinum, di tumpuan langit gulita yang penuh bintang.

  Ketika ia mendelikkan matanya, dunia berbalik, penuh dengan lampu dan suara, dengan keramaian yang tak menyisakan ruang untuk sepi. Tapi di dalam dadanya, Suzy mengusung sesuatu yang tak bisa disamun agih siapa pun---sebuah babad yang akan tetap bersukma, meski dalam maujud yang kian samar, kian kabur. Ia tahu, pun Nathan tak lagi bercogah di sampingnya, ia kasdu ajek menetap di lombong hatinya, menjadi cahaya pipih yang berkenaan terus menunu, menyinyalir Suzy bahwa meski Nathan telah berkalang tanah, cintanya tidak embuh sunah benar-benar tumpas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline