Namanya Beckham W---.
Matanya bak arunika, seolah membawa secercah warna di dunia yang serba hitam putih. Selerang sawo matangnya manis, selaras dengan senyum lebarnya yang tak pernah gagal memikat. Tawa lepasnya menggemaskan. Ia tipe orang yang dengan mudah mengisi ruang di sekitarnya dengan keceriaan.
Pertama kali aku bertemu dengannya, Ia sudah banyak menarik perhatian kakak-kakak kelasku saat kompetisi basket. Tak bisa dipungkiri, talentanya memang tidak main-main. Ia terkenal di sekolah lama ku, dan bukan hanya karena penampilannya. Di luar itu, ia cukup usil, dan entah bagaimana, selalu ingin tahu tentangku. Padahal, aku biasanya tidak suka orang yang terlalu banyak bertanya—mengganggu privasi, kurasa. Tapi, Beckham berbeda.
Ada sesuatu dari pertanyaan-pertanyaan kecilnya yang terkadang terkesan basi, namun justru membuatku tersenyum. Dia sering mengirim pesan-pesan melalui Instagram, menanyakan hal-hal sepele, seperti apa hobiku dan buku terakhir yang kubaca. Pertanyaan sederhana, namun terasa berbeda darinya. Kami sering berbincang tentang banyak hal—tak ada topik yang terlalu biasa atau terlalu aneh. Seiring waktu, dia mulai mengenal lebih banyak hal tentangku, tapi akulah yang benar-benar menyimpan setiap detail tentang dirinya dengan baik di benakku. Kata-kata yang sering ia ucapkan, hal-hal konyol yang ia tertawakan, semua yang ia banggakan, semua yang ia ceritakan, semuanya terlalu baik.
Sudah setahun berlalu sejak kali terakhir kami berbicara. Bola mata kami tak lagi saling menatap, tak ada percakapan hangat di sela-sela hari. Kami seperti dua orang yang saling kenal namun terasa asing, tak lagi dekat. Mungkin memang sudah bukan warsanya. Mungkin cerita kami memang sudah seharusnya berakhir. Tapi, kenapa? Mengapa semesta masih mempertemukannya denganku di saat-saat yang tak terduga? Mengapa aku seringkali memimpikannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H