Lihat ke Halaman Asli

Peribahasa Refleksi Budaya Nusantara

Diperbarui: 14 April 2016   18:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="source : carakanjawa.blogspot.co.id"][/caption]

 

 

Bagi yang bersuku jawa pastinya tidak asing dengan ungkapan “alon-alon waton kelakon” yang mempunyai makna pelan-pelan saja asal berhasil. Atau bagi yang bersuku minangkabau tentunya juga kenal dengan ungkapan “anak ikan dimakan ikan, gadang ditabek anak tenggiri. Ameh bukan perakpun bukan, budi saketek rang haragoi” yang dibahasa indonesiakan menjadi hubungan yang erat sesama manusia bukan karena emas dan perak, tetapi lebih diikat budi yang baik. Begitu singkat namun penuh dengan makna dan petuah, itulah peribahasa. Kalau mengutip dari wikipedia bahasa indonesia, peribahasa/pepatah adalah ayat atau kelompok kata yang mempunyai susunan yang tetap dan mangandung aturan dasar dalam berperilaku.

Indonesia kaya akan suku, dan setiap suku mempunyai bahasa sendiri tentunya punya peribahasa atau petuah yang telah diwariskan turun-temurun ataupun yang tercipta karena akulturasi budaya yang ada. Pada awalnya peribahasa ini berupa dongeng-dongeng ataupun petuah-petuah yang berfungsi sebagai salah satu alat penertib masyarakat dan sebagai cara pandang suatu masyarakat dalam menjalani kehidupan.

Namun sayangnya sekarang kebiasaan memberi dongeng untuk anak-anak ataupun memberi wejangan kepada anak-anak terlebih untuk remaja mulai terpinggirkan. Entah karena kurang dekatnya anak dengan keluarga atau mengkin juga karena sudah saking banyaknya bertebaran motivator-motivator dadakan yang sangat piawai berorasi dan meng-eksiskan dirinya. Mulai dengan siaran-siaran televisi sampai dengan media-media sosial yang digandrungi remaja-remaja sekarang.

Dulu informan kerajaan membutuhkan waktu beberapa hari untuk menyampaikan suatu pesan yang jaraknya hanya puluhan kilo saja. Namun dengan kemajuan zaman kini jarak yang bermil-mil jauhnya hanya dengan satu klik semua pesan tersampaikan. Tak perlu lagi menyusuri sungai maupun hutan belantara atau gunung-perbukitan yang menjulang.

Jika dulu menggunakan kuda sebagai kurir pacuan, kini hanya dengan gadget dalam genggaman semua kebutuhan akan informasi terpenuhi. Seperti peribahasa “sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui” yang kurang lebih bermakna sekali melakukan, beberapa pekerjaan terselesaikan. Semakin mudah dan tak perlu bersusah payah. Namun hal itu berdampak kurang baik pada remaja modern. Mereka menjadi lebih pasif dan kurang inisisatif, bahkan terlalu mudah jatuh ketika mendapat suatu permasalahan.

Sangat berbeda dengan remaja jaman dahulu yang senantiasa kuat pikiran dan kepribadiannya meskipun dalam perantauannya sekalipun. Apa yang membuat perbedaan antara kedua remaja beda masa itu. Remaja zaman dahulu sangat meresapi dan mengaktualisasikan petuah-petuah yang diberikan oleh para orangtua mereka. Hal itulah yang membuat mereka kuat untuk melewati masalah kehidupan yang menghalanginya.

Hal itulah yang kurang dari remaja zaman sekarang. Fasilitas memadai namun banyak yang menyalahgunakan. Media komunikasi banyak digunakan hanya untuk berkeluh kesah akan kehidupan ataupun sekedar kisah asmaranya.

Padahal mungkin akan lebih bijak apabila menggunakan fasilitas yang ada tanpa dengan menghilangkan kearifan lokal yang sudah melekat pada pribadi bangsa. Salah satunya peribahasa dan petuah-petuah yang hampir punah karena pergeseran zaman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline