Kana adalah seorang remaja yang tinggal di pinggiran kota. Ia dikenal sebagai anak yang ceria, tapi soal ibadah, ia sering menyepelekan. Ketika bulan Ramadhan tiba, Kana menganggap puasa hanya rutinitas tahunan, bukan ibadah yang perlu dipahami. Baginya, yang penting ia tidak makan dan minum sampai Maghrib.
Suatu hari, di masjid dekat rumahnya, Pak Malik, seorang tetua yang sering memberikan ceramah, mengundang para remaja untuk ikut kajian singkat setelah sholat Ashar. Kana yang malas, awalnya enggan pergi, tetapi karena teman-temannya ikut, ia pun terpaksa bergabung.
Pak Malik membuka kajian itu dengan sebuah hadis yang berbunyi:
"Banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga." (HR. Ahmad).
Kana mendengar itu sambil bersandar di dinding masjid, tak terlalu peduli. Namun, ketika Pak Malik mulai menjelaskan, perhatian Kana perlahan terfokus.
“Puasa itu bukan hanya menahan lapar dan haus,” kata Pak Malik. “Tapi juga menahan diri dari perbuatan buruk, seperti berbohong, menggunjing, bahkan marah. Jika kita tetap melakukan hal-hal itu, maka apa yang kita dapat dari puasa kita?”
Kana mengernyit. Ia teringat kejadian pagi tadi, saat ia marah-marah pada adiknya yang tak sengaja menjatuhkan ponselnya. Ia juga teringat kebiasaannya membicarakan teman-temannya di grup chat, padahal sedang berpuasa.
Ketika kajian selesai, Kana merasa tidak tenang. Kata-kata Pak Malik terus terngiang di kepalanya. Sore itu, ia memutuskan untuk berbincang dengan ibunya di dapur saat menunggu waktu berbuka.
“Bu,” tanya Kana tiba-tiba, “puasa Kana selama ini…. apa cuma lapar dan haus aja?”
Ibunya menoleh, terkejut. “Kenapa tanya begitu, Nak?”
Kana menceritakan apa yang ia dengar dari Pak Malik. Ibunya tersenyum lembut sambil mengusap kepala Kana. “Nak, Allah itu Maha Penyayang. Kalau kamu merasa belum sempurna puasanya, itu tanda Allah sedang mengetuk hatimu. Masih ada waktu untuk memperbaikinya, kan?”
Saat adzan Maghrib berkumandang, Kana merasakan sesuatu yang berbeda. Saat ia menyuapkan kurma pertama ke mulutnya, ia merasa puasanya hari itu lebih bermakna. Ia menahan marah pada adiknya, mencoba lebih sabar, dan menjaga ucapannya.