Mendengar nama Jogja terbayang langsung ramainya sebuah kota istimewa di Indonesia. Sebuah kota yang menyimpan banyak sejarah Indonesia dan tersirat guratan budaya lama bangsa ini.
Saya waktu itu berkesempatan untuk melawat ke wilayah itu lagi. Sekalipun hanya sebentar, saya sempatkan untuk mendatangi tempat hiburan rakyat yang paling murah dan banyak menarik perhatian para pelancong lokal dan asing, Malioboro.
Saya ndak tahu mengapa tempat ini disebut dengan Malioboro, saya juga tak mencari tahu hal ihwal mula pergama wilayah ini disebut begitu, karena bukan hal itu yang menjadi perhatian saya tentang itu. Yang hendak saya cari malam ini ialah bagian gelap wilayah yang terkenal saat malam tiba ini.
Saya sama sekali tidak ingin menurunkan nama besar Jogja dengan berbagai keistinewaannya, tapi sebagai bangsa saya hendak menyedot sedikit saja kenakalan bangsa ini dalam menjadikan sisi gelap sebagai sarana pencari nafkah hidup, dan mungkin memang tak banyak yang meoihat begitu.
Sebagai akademisi yang lahir dan hidup di lingkungan agamis, melihat Maliobiro saya menjadi sedih, tapi jiga tak bisa berbuat banyak, kecuali menulis begini. Semoga menjadi bahan diskusi untuk mencarikan solusi dan menyelesaikan sisi gelap ini.
Salah satu yang menarik perhatian saya ialah dua orang di gambar ini. Saya tidak tahu bagaimana orang melihat fakta yang secara sengaja saya ambil dari sisi paling mudah dipahami ini.
Yang saya tahu, dua orang ini sedang mencari nafkah di tengah hiruk pikuk nama besar Malioboro. Si Bapak yang memiliki kekurangan secara fisik ini, tuna netra, terus memainkan piano yang ada di depannya.
Seakan dia tak peduli dengan nada yang sumbang, dia terus menyanyi sambil memainkan piano itu. Dia juga tak peduli apakah dia dilihat banyak oeang atau sedikit orang, sebab yang dia harap ada dari sebagian orang yang lewat di depannya mampir dan merogoh koceknya lalu melemparkan sedikit dari uang receh kembalian belanjanya.
Hampir satu jam saya duduk di posisi saya mengambil gambar itu, tak terlihat seorang pun yang lewat di depannya berkenan mampir lalu bersahaja mendengarkan nada sumbang dan suara tak merdunya sekedar untuk menguatkan hatinya.
Seorang ibu, mungkin isteri bapak itu, duduk disebelahnya. Pakaiannya yang sangat sederhana, tak semewah nama besar Maliboro. Saya lihat dia sebentar-sebentar menengok ke tempat saya duduk, "syukur masih ada yang mau melihat kami," begitu mungkin batinnya bergumam pelan.
Tak ada senyum dari bibir kedua orang itu. Sekalipun terdengat tawa riuh para pejalan dan penikmat malam Malioboro, mereka berdua tetap dalam ekspresi yang sama dengan semula saat saya pertama kali duduk di sebelahnya sambil menikmati bungkusan makanan ringan.